Web Toolbar by Wibiya

Rabu, 24 Maret 2010

Cinta, Kekerasan, Simbolik, dan Wacana Kekuasaan


Gadis tersebut, sebut saja namanya R, menangis tersedu-sedu ketika mendengar kabar bahwa kekasihnya, sebut saja namanya S, akan menikah akhir bulan ini. Berita tersebut ia terima dari salah seorang sahabat kekasihnya. Maka untuk memastikan kebenaran kabar itu, R memutuskan untuk pergi ke Lombok, kota dimana S tinggal. Meskipun hanya bermodalkan uang seadanya dan alamat yang tidak lengkap (ia hanya mengandalkan nama orang tua, nama desa, dan nama kecamatan dimana S tinggal), tetapi ia nekat pergi ke kota yang belum pernah ia kunjungi dan hanya mendengar dari cerita kekasihnya, S.



Selama dalam perjalanan Jakarta-Lombok, R tak henti-hentinya menangis karena pria pujaan hati yang telah dipacarinya itu akan menikah dengan perempuan lain. Begitu sampai di Lombok, ia segera menanyakan nama desa dan kecamatan dimana kekasihnya tinggal itu kepada seorang tukang ojek yang mangkal di terminal bis. Setelah sepakat dengan harga, kedua orang tersebut pergi menuju ke tempat yang dicari. Akhirnya, R berhasil menemukan alamat S.

Namun, bukan sebuah penjelasan atau pun permohonan kata maaf yang keluar dari bibir S. Melainkan bentakan, makian, dan hinaan yang diterima R. Berkali-kali S mengatakan kepada R, “Kamu sakit”. Kemudian R dengan bijak menutup “pembicaraan” tersebut dengan mengucapkan, “Selamat atas pernikahannya. Semoga sakinah, langgeng, dan memiliki anak yang sehat”. Ia pun memutuskan untuk melupakan kisah pahit tersebut dan kembali ke Jakarta untuk memulai lembaran cinta yang baru.

Cerita tersebut sering kali terjadi pada entah itu teman, saudara, atau pun diri kita sendiri. Malahan “kisah-kisah melodramatik” seperti ini dijadikan tontonan yang “menjual” di banyak stasiun televisi. Adapun reaksinya sangat beragam tergantung dari individu masing-masing. Seperti contoh, bagi anda yang seorang pemuja cinta, mungkin, akan mengatakan, “Wah.. Romantis sekali perempuan itu, meski harus berakhir tragis”, bagi anda yang seorang aktivis perempuan, mungkin, akan mengatakan, “Bodoh sekali perempuan itu”, bagi anda yang seorang ekonom, mungkin, akan mengatakan, “Berapa banyak uang yang telah dikeluarkan perempuan itu?”, atau bagi anda yang beriman, mungkin, akan mengatakan, “Allah SWT akan memberikan ganti (baca: pria) yang lebih baik. Percayalah..”.

Kita acapkali menganggap remeh kisah-kisah cinta yang kerapkali membuat sang korban, dalam hal ini kaum perempuan, selalu termehek-mehek ini. Tetapi sadarkah kita bahwa apa yang terjadi oleh S dan banyak perempuan di dunia ini adalah suatu bentuk kekerasan, yaitu suatu kekerasan yang disebut sebagai kekerasan simbolik?. Lalu apa yang dimaksud dengan kekerasan simbolik?. Dan bagaimana kekerasan simbolik itu bisa terjadi? Serta bagaimana cara menghentikannya?

Kekerasan Simbolik

Kekerasan simbolik merupakan suatu istilah yang dipopulerkan oleh Pierre Bourdieu, seorang pemikir Perancis. Menurut beliau, kekerasan simbolik adalah suatu bentuk kekerasan yang terjadi ketika korbannya tidak melihat dan merasakan itu sebagai suatu kekerasan, tetapi sebagai sesuatu yang wajar dan alamiah. Atau dengan kata lain, kekerasan simbolik adalah kekerasan yang tak kasat mata. Lebih jauh, ia mengatakan bahwa kekerasan simbolik ini merupakan akar dari semua bentuk kekerasan. Karena dari kekerasan simbolik ini lah akan melahirkan kekerasan-kekerasan baru, misalnya, kekerasan psikis dan fisik.

Kekerasan simbolik ini sangat mudah kita temukan di dalam hubungan percintaan. Dalam kasus R, perilaku S yang membentak, memaki, dan menghina R, bahkan mengeluarkan sebuah kalimat yang tergolong sangat kasar, “Kamu sakit”, merupakan suatu bentuk kekerasan simbolik. Mengapa hal itu dikatakan kekerasan simbolik? Tak lain dan tak bukan karena ketika S membentak, memaki, menghina, sekaligus mengucapkan “Kamu sakit”, R melihat itu sebagai sesuatu yang wajar. R berpikir bahwa ia lah penyebab mengapa S berbuat itu. R merasa bahwa ia lah yang bersalah. Atau dengan kata lain, dalam perspektif R, ia adalah “terdakwa” sementara S “hanyalah” korban. Padahal ketika awal R mendengar berita bahwa S akan menikah dan kemudian mendatangi rumahnya, R secara sadar kalau ia telah dibohongi oleh S. Lalu mengapa kekerasan simbolik bisa terjadi?.

Wacana Kekuasaan

Kekerasan simbolik yang diterima R terjadi karena adanya wacana yang dibuat oleh S. Lalu apa yang dimaksud dengan wacana? Seorang pemikir asal Perancis, Michel Foucault, melihat wacana sebagai produksi pengetahuan melalui bahasa. Foucault secara cerdas mengkritisi makna yang terkandung dibalik pengetahuan, yaitu kekuasaan. Menurutnya, tidak ada pengetahuan yang murni dan netral. Karena sesungguhnya tersimpan makna kekuasaan di dalamnya. Dengan demikian, kehendak untuk mengetahui adalah kehendak untuk berkuasa.

Dan dengan bahasa, kita menjadi lebih mudah untuk berkomunikasi. Dengan bahasa pula, kita menjadi mengetahui dan memahami sesuatu. Tetapi tidak berarti bahwa wacana adalah bahasa itu sendiri. Karena wacana tidak sama dengan bahasa. Wacana adalah kejadian bahasa. Artinya, melalui bahasa, wacana itu muncul ke permukaan. Bahasa adalah faktor pendorong lahirnya wacana.

Jika kembali pada persoalan kekerasan simbolik yang dialami oleh R, maka kata-kata kasar yang diucapkan oleh S tak lain adalah sebuah wacana, yaitu wacana kekuasaan: dominasi laki-laki terhadap perempuan. Dan wacana kekuasaan tersebut terjadi disebabkan karena adanya ideologi phallocentrisme, yaitu suatu pemikiran yang menjadikan laki-laki sebagai pusat tolok ukur dalam memandang suatu hal, bahwa laki-lakilah yang berhak menilai sesuatu, bukanlah perempuan. Artinya, sesuatu hal itu dapat dikatakan baik ketika laki-laki memandang itu baik. Begitu juga sebaliknya. Dalam relasi antara R dan S, maka yang menjadi pusat tolok ukur tak lain dan tak bukan adalah S. Karena S adalah seorang laki-laki sehingga ia lah yang berkuasa untuk menentukan siapa yang berbicara dan siapa yang harus mendengarkan.

Selain itu, perbuatan kasar S, misalnya, membentak, memaki, dan menghina tidak lain adalah suatu tindakan untuk menunjukkan superioritas S sebagai laki-laki. Secara tidak langsung, S ingin mengatakan, “Karena saya laki-laki, maka saya berhak membentak kamu. Karena saya laki-laki, maka saya berhak memaki kamu. Karena saya laki-laki, maka saya berhak menghina kamu”.

Kemudian S secara sukses menggunakan wacana kekuasaan ini untuk mendikte cara berpikir, cara bertindak, dan cara berbicara R dengan tujuan untuk memanipulasi pikirannya dengan berkali-kali mengatakan “Kamu sakit”. Akibatnya, R merasa kalau ia lah yang bersalah. Ia lah yang menyebabkan mengapa S mengeluarkan kata-kata kasar. Tak hanya itu, wacana kekuasaan juga telah berhasil menyelamatkan “citra” S sebagai pria baik-baik. Karena sejak awal, ia telah berbohong atas status dirinya yang sebenarnya telah bertunangan.

Dengan demikian, wacana kekuasaan ini merupakan suatu alat yang cukup efektif digunakan oleh S untuk membenarkan segala tindakan kasarnya sekaligus melakukan penindasan terhadap R.

Lalu timbul suatu pertanyaan bagaimanakah solusi agar R dan banyak kaum perempuan di dunia ini tidak lagi tertipu pada logika wacana kekuasaan akan ideologi phallocentrisme sehingga mereka dapat terbebas dari kekerasan simbolik?.

Solusi: Dekonstruksi dan Membangun Wacana Baru

Adapun solusi dari persoalan ini adalah dengan cara mendekonstruksi wacana kekuasaan akan ideologi phallocenrisme. Karena dengan begitu akan tersingkap makna ketidakadilan yang selama ini tidak disadari oleh kaum perempuan. Dekonstruksi dapat dilakukan dengan cara membongkar seluk beluk ideologi phallocentrisme itu secara kritis. Seperti contoh, mempertanyakan motif kepentingan yang tersembunyi di balik ideologi tersebut. Setelah itu membangun wacana baru dengan cara pandang yang baru, yakni menurut cara pandang perempuan. Dengan demikian, perempuan dapat menilai diri mereka sendiri dari sudut pandang mereka, bukan dari sudut pandang laki-laki sehingga kekerasan simbolik yang dialami oleh R maupun banyak perempuan di dunia ini tidak terulang kembali.

Dan melalui tulisan ini, saya hanya ingin menunjukkan bahwa kekerasan simbolik yang terjadi di dalam hubungan percintaan bukanlah permasalahan remeh temeh yang hanya dianggap suatu kewajaran saja, tetapi ini lebih merupakan persoalan serius yang harus disadari oleh kaum perempuan. Karena dari kekerasan simbolik ini lah lahir kekerasan-kekerasan lainnya, misalnya, psikis dan fisik. Adapun cerita R tersebut hanyalah fiktif belaka.

by Herlina Siregar
http://sosbud.kompasiana.com/2010/02/25/cinta-kekerasan-simbolik-dan-wacana-kekuasaan/

0 komentar:

Posting Komentar