Web Toolbar by Wibiya

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 07 April 2011

Pendidikan Berbasis Karakter


KOMPAS.com - Dalam kajian pendidikan dikenal sejumlah ranah pendidikan, seperti pendidikan intelek, pendidikan keterampilan, pendidikan sikap, dan pendidikan karakter (watak). Pendidikan karakter berkenaan dengan psikis individu, di antaranya segi keinginan/nafsu, motif, dan dorongan berbuat.

Pendidikan karakter adalah pemberian pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian, tanggung jawab, kebenaran, keindahan, kebaikan, dan keimanan. Dengan demikian, pendidikan berbasis karakter dapat mengintegrasikan informasi yang diperolehnya selama dalam pendidikan untuk dijadikan pandangan hidup yang berguna bagi upaya penanggulangan persoalan hidupnya.

Pendidikan berbasis karakter akan menunjukkan jati dirinya sebagai manusia yang sadar diri sebagai makhluk, manusia, warga negara, dan pria atau wanita. Kesadaran itu dijadikan ukuran martabat dirinya sehingga berpikir obyektif, terbuka, dan kritis, serta memiliki harga diri yang tidak mudah memperjualbelikan. Sosok dirinya tampak memiliki integritas, kejujuran, kreativitas, dan perbuatannya menunjukkan produktivitas.

Selain itu, tidak hanya menyadari apa tugasnya dan bagaimana mengambil sikap terhadap berbagai jenis situasi permasalahan, tetapi juga akan menghadapi kehidupan dengan penuh kesadaran, peka terhadap nilai keramahan sosial, dan dapat bertanggung jawab atas tindakannya.

Pembentukan pribadi

Karena itu, sekolah yang akan mengimplementasikan pendidikan berbasis karakter dapat memikirkan segi-segi sebagai berikut. Pertama, keberhasilan pendidikan berbasis karakter terkait dengan kondisi peserta didik yang landasan keluarganya mengharapkan tercipta iklim kehidupan dengan norma kebaikan dan tanggung jawab. Dengan demikian, fungsi pendidikan berbasis karakter untuk menunjukkan kesadaran normatif peserta didik, seperti berbuat baik dan melaksanakan tanggung jawabnya agar terinternalisasi pada pembentukan pribadi.

Organ manusia yang berfungsi melaksanakan kesadaran normatif ialah hati nurani atau kata hati (conscience). Organ penunjangnya ialah pikiran atau logika. Pendidikan berbasis karakter diprogram untuk upaya kesadaran normatif yang ada pada hati nurani supaya diteruskan kepada pikiran untuk dicari rumusan bentuk perilaku, kemudian ditransfer ke anggota badan pelaksana perbuatan. Contoh, mulut pelaksana perbuatan bicara atau bahasa melalui kata-kata. Maka, sistem mulut memfungsikan kata-kata bersifat logis atau masuk akal. Bahkan, dengan landasan kesadaran norma dan tanggung jawab akan terjadi komunikasi dengan perkataan santun yang jauh dari celaan dan menyakitkan orang lain.

Karena itu, pendekatan proses pembelajaran di sekolah perlu disesuaikan, yaitu dengan menciptakan iklim yang merangsang pikiran peserta didik untuk digunakan sebagai alat observasi dalam mengeksplorasi dunia. Interaksi antara pikiran dan dunia harus memunculkan proses adaptasi, penguasaan dunia, dan pemecahan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya. Keberhasilan anak menjalani interaksi dengan dunia akan membentuk kemampuan merumuskan cita-citanya. Bahkan, cita-cita itu dijadikan pedoman atau kompas hidup. Dengan pedoman hidup itu ia menentukan arah sekaligus membentuk norma hidupnya.

Kedua, kondisi sekolah dapat menciptakan iklim rasa aman bagi peserta didiknya (joyful learning). Jika peserta didik tidak merasa aman, seperti merasa jiwa tergoncang, cemas, atau frustrasi akibat mendapatkan pengalaman kurang baik dari sekolah, maka ia tidak akan dapat menanggapi upaya pendidikan dari sekolahnya. Bahkan, ia acap kali merespons upaya pendidikan dengan bentuk protes atau agresi terhadap lingkungannya. Peserta didik yang cerdas sekalipun, dengan merasa kurang aman, acap kali konflik dengan lingkungan yang menyulitkan hidup.

Bahkan, upaya mempertahankan hidupnya dengan berbuat tercela, tidak bermoral, tidak bertanggung jawab, dan jahat. Perasaan aman hidup atau perasaan yang tidak diliputi kecemasan di sekolah hanya mungkin bila suasana sekolah mencintai anak dengan menciptakan iklim keterbukaan, mesra, bahagia, gembira, dan ceria.

Dengan demikian, iklim tersebut akan mampu membuka kata hati peserta didik, baik di sekolah maupun ketika menghadapi dunia masyarakat. Kehidupan nyata dianggap sebagai obyek yang menarik minat dengan kegairahan hidup dan penuh perhatian yang merangsang pikirannya.

Ketiga, kebijakan sekolah dalam merumuskan bahan belajar pendidikan berbasis karakter diorientasikan ke masa depan, yaitu menggambarkan indikasi bentuk baru nilai-nilai peradaban masyarakat. Dasar pertimbangannya adalah (1) proses pembangunan berkonsekuensi terhadap perubahan bentuk baru nilai-nilai kebiasaan hidup masyarakat, (2) pendidikan berbasis karakter harus berperan sebagai pengimbang akibat sampingan proses pembangunan.

Indikator bentuk baru nilai-nilai peradaban masyarakat dimisalkan mengambil rumusan dari hasil pengamatan kehidupan kota yang mengalami pembangunan pesat dan menimbulkan urbanisasi sehingga di kota tercipta pusat permukiman pendatang baru yang seolah terputus dari akar sosial budaya sebelumnya. Permukiman kota yang penuh sesak menimbulkan suasana kehidupan yang mencekam dari kekhawatiran terjadinya instabilitas sosial.

Jurang perbedaan

Selain itu, rumusan didapat dari hasil pengamatan suasana keluarga dalam menghadapi tata kehidupan baru, apakah mengambil sikap bertahan dengan kebiasaan hidup sebelumnya, ataukah meninggalkan dan mengganti kebiasaan hidup sebelumnya (permisif), sementara keadaan sekitar tidak ikut bertahan. Terutama mengambil sikap mengenai kaitan dengan ekonomi keluarga, pekerjaan, perdagangan, dan kecemburuan sosial.

Bagaimana kondisi keluarga yang tetap bertahan, apakah menjadi terasingkan. Bagaimana pula keluarga yang mengubah kebiasaan lama dengan yang baru, apakah secara psikologis memperoleh kemantapan ataukah kepahitan dan kekacauan hidup.

Paling tidak, pengamatan sepintas menunjukkan akibat sampingan pembangunan yang pesat pada perubahan bentuk kehidupan masyarakat. Yaitu, pembangunan yang menawarkan kesempatan bagi siapa saja yang berkesanggupan sehingga mengakibatkan di satu pihak terdapat sebagian anggota masyarakat yang cakap dan berani mengambil risiko untuk menangkap manfaat penawaran pembangunan dan golongan ini akan maju.

Di pihak lain, ada anggota masyarakat yang lamban bergerak dalam menangkap manfaat dan golongan ini akan semakin tertinggal. Hasil akhir antara yang cakap dan lamban menyebabkan munculnya jurang perbedaan kepemilikan materi yang mudah diisukan sebagai pelanggaran asas keadilan.

Jurang perbedaan kemajuan sisi materi yang dipahami secara sempit mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai masyarakat. Yaitu, menguatnya arus bentuk baru kehidupan masyarakat seperti nilai materi dan hara-hura serta tampak memudar budaya santun, malu, kekeluargaan, kejujuran, toleransi, kebersamaan, kesetiakawanan, dan gotong royong.

Oong Komar
Penulis adalah Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia

Belajar dari Ki Hajar


Sangat menarik bahwa pada akhir Februari 1933 Ki Hadjar Dewantara sudah menulis tentang teroris dalam majalah Pusara. Waktu itu ia mengajak negara agar sesegera dan setegas mungkin mencegah perbuatan teror.

Tindakan teror ia temukan dalam orang yang merusak milik orang lain dan merasa lebih dicintai pemimpin negara karena terornya kepada orang lain tak dihukum sewajarnya.

Ketika Ki Hadjar mendapat gelar doktor honoris causa (19 Desember 1956), Prof Sardjito memuji keberaniannya melawan Pemerintah Belanda dengan tulisannya, ”Als ik een Nederlander was”: menghadapi perbedaan paham-paham dengan argumentasi, bukan dengan kekerasan.

Tak takut akan teror

Selanjutnya, Sardjito menunjukkan tekad Ki Hadjar untuk tak hanya menulis dan bicara, tetapi juga segera bekerja keras membangun Tamansiswa. Dalam pidato sambutannya, Ki Hadjar menunjukkan tak takut akan teror dan melontarkan kritik keras lagi terhadap pendidikan Belanda. Namun, dia mengatakan juga agar kita tak ikut memperbesar teror atau ketakutan di kalangan rakyat.

Selanjutnya, ia menolak membalas teror dengan teror dengan justru mengatakan, ”Jangan sampai anak-anak Belanda di antara kita tidak mendapat pengajaran dan pendidikan. Kita harus bersama-sama mencari kebenaran.”

Kedua cendekiawan nasionalis ini menolak memencilkan lawan politik dan musuh militer. Mereka malah membuka peluang agar terus-menerus berbagi kemerdekaan dan bersama mencari kebenaran hidup. Betapa mereka itu berbeda dengan sejumlah pembesar negara saat ini: mau membungkam lawan politik atau orang yang berbeda keyakinan atau agama dengan membekukan aliran atau meminggirkan pihak lawan.

Rupanya bagi Sardjito dan Ki Hadjar, pembinaan dan pendidikan dalam masyarakat membuka kesempatan hidup bersama bagi orang yang bermusuhan, beda pendapat, dan lain keyakinan. Mere- ka tidak melawan teror dengan teror, tak mau pula membiarkan teror menghantui rakyat. Mereka melawan teror tidak dengan kekerasan, tetapi dengan argumentasi, dan memfasilitasi rakyat membuka komunikasi. Itu terjadi puluhan tahun silam saat republik ini hampir lahir dan sesudahnya ketika Indonesia masih muda.

Dalam suatu pertemuan di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia belum lama ini, Prof Musdah Mulia mengkritik orang-orang yang katanya atas dasar agama melakukan kekerasan, tak hanya dengan menghancurkan milik orang lain, juga dengan menciptakan aturan dan perda yang memerkosa hak asasi rakyat kecil dan minoritas. Pada kesempatan lain, Komnas HAM prihatin dengan kurangnya usaha pejabat tertentu memfasilitasi komunikasi antar-rakyat, malah memberi contoh bahwa mereka tak mampu berkomunikasi serta takut kritik. Di Wahid Institute, belum lama ini terdengar seruan, cukup banyak pemikir dan pemerhati masyarakat menyesalkan pejabat yang memberi kesan takut kepada perusuh dan malah merangkul orang-orang yang membuat teror bagi orang lain.

Lalu, terciptalah teror-teror baru berupa perda-perda yang membuat orang ngeri karena perbedaan pendapat dan perbedaan keyakinan sudah dikriminalkan. Dalam banyak diskusi dirasakan seakan-akan mubazirlah inisiatif Habibie membuka iklim terbuka di dunia politik kita dan terlupakanlah upaya Gus Dur menciptakan persaudaraan ketika memimpin negara ini.

Ada kesan kuat pemimpin negara dan aparatnya tak jelas-jelas melindungi korban keganasan fisik, malah mengalah terhadap teror mental sekelompok kecil orang dalam suatu republik yang oleh Obama dikatakan sebagai teladan toleransi ketika berkunjung di UI, Depok.

Kehilangan orientasi

Agaknya banyak bagian bangsa ini kehilangan orientasi dalam bernegara dan menyelesaikan perbedaan paham. Banyak hal mau ditutupi dengan koalisi sementara yang sangat beraroma kepentingan politis jangka pendek dan bukannya diarahkan oleh prinsip bernegara yang teguh dan berjangka panjang. Dilupakan bahwa kita punya Pancasila yang deretan sila-silanya bermuara pada keadilan sosial.

Keadilan sosial justru mau menguatkan keadilan legal (yang kerap lumpuh seperti di Indonesia saat ini), keadilan distributif (yang dirusak oleh monopoli dagang dan perekonomian yang orientasinya ke modal besar), dan keadilan komutatif (yang terbukti hanya memenangkan mereka yang kuat secara fisik, ekonomis, ataupun politis). Sebab, dalam keadilan sosial diupayakan agar kelompok atau komunitas kecil(-kecil) tetap terlindungi di tengah keganasan rebutan kuasa dan kejayaan.

Bila diskusi sekitar Agustus 1945 dicermati benar-benar, dialognya tidaklah mengenai agama, tetapi mengenai persaudaraan di antara siapa pun yang mau menjadi bagian republik muda ini.

Sekian banyak perundingan ditujukan untuk merangkul siapa pun yang mau bergabung dengan para inisiator proklamasi kemerdekaan. Tak satu pun kelompok—sekecil apa pun—yang tak difasilitasi untuk bergabung. Di balik rumusan Bhinneka Tunggal Ika tersembunyi bukan sekadar strategi politik dan militer, melainkan juga sikap kemanusiaan mendalam. Itulah sebab dari kehadiran sila ”peri kemanusiaan” dalam rangkaian dengan ”persatuan bangsa Indonesia dan musyawarah”.

Ketika kemudian menjadi menteri yang mengurusi persekolahan demi pencerdasan anak-anak bangsa, Ki Hadjar ikut memastikan sekolah kecil tak hancur karena perubahan politik dan ekonomi. Juga sesudah tak lagi jadi menteri, ia memperjuangkan subsidi bagi sekolah kecil.

Dengan demikian, terdidiklah rakyat dan para pejabat agar berpendirian bahwa dalam negara ini siapa pun disambut dengan tangan terbuka untuk jadi warga negara dan diperlakukan setara dengan orang lain justru kalau kecil dan lemah.

Implikasinya harus tampak dalam UU, peraturan pemerintah, perda, dan penegakan keadilan. Aparat pemerintah tak pernah boleh gentar menghadapi kekerasan kelompok apa pun: membela si kecil yang diancam harta, apalagi nyawanya. Ada sesuatu yang amat diperlukan warga lemah: ketika makanan mahal, rumah rusak, lampu tak tersedia, keamanan rapuh, di situlah warga kecil mengorientasikan hidupnya kepada Tuhan.

Keyakinan atau agama yang tak dapat direduksikan pada upacara dan ajaran (yang memang terasa perlu saat tenang) adalah orientasi dasar manusia paling mendasar. Mukadimah UUD 1945 jelas memahami hal itu, tetapi tidak oleh sejumlah pejabat masa kini. Padahal, justru dalam hal itulah para pendiri negara kita berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh dunia, yang dalam PBB memaklumkan hak-hak asasi manusia.

Seyogianya negara kita tak dibuat terpencil dari pergaulan internasional karena perilaku dan cara kerja segelintir pejabat yang hanya akan punya waktu terbatas dalam mengabdi bangsa.

Ki Hadjar sudah mengajarkan orientasi bangsa yang jelas.

BS Mardiatmadja Rohaniwan

Quo Vadis' Pendidikan Karakter?


KOMPAS.com — Siapa yang tidak mengelus dada melihat pelajar yang tidak punya sopan santun, suka tawuran, bagus nilainya untuk "pelajaran" pornografi, senang narkotika, dan hobi begadang dan kebut-kebutan.

Itu jenis kenakalan pelajar yang paling umum, sedangkan kenakalan lainnya antara lain senang berbohong, membolos sekolah, minum minuman keras, mencuri, aborsi, berjudi, dan banyak lagi.

Namun, pelajar yang patut dibanggakan juga ada, seperti mereka yang menjuarai olimpiade sains, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Bahkan, pelajar Indonesia menjadi juara umum dalam International Conference of Young Scientists (ICYS) atau Konferensi Internasional Ilmuwan Muda se-Dunia yang diikuti ratusan pelajar SMA dari 19 negara di Bali pada 12-17 April 2010.

Agaknya, fakta yang ada menunjukkan pendidikan karakter bagi pelajar Indonesia sudah sangat penting untuk dicanangkan kembali dalam memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada 2 Mei 2010.

Hal ini pun mengingat, kritik terhadap pendidikan formal yang ada di Indonesia sudah banyak dilontarkan.

Misalnya, pendidikan di Indonesia disebut-sebut hanya melahirkan ahli matematika, fisika, dan kimia, tetapi lulusannya tidak memiliki karakter.

"Faktanya, pengangguran terdidik di Indonesia saat ini mencapai 1,2 juta orang, sedangkan pengangguran tak terdidik hanya 700 orang," kata konsultan kewirausahaan, Imam Supriyono di Surabaya.

Dalam seminar pendidikan bertajuk Pendidikan dan Dunia Kerja yang digelar HMI Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Surabaya, pemimpin SNF Consulting itu menilai bahwa fakta yang ada membuktikan pendidikan di Indonesia sangat formalistik.

"Padahal, bangsa Indonesia dengan jumlah penduduk yang mencapai 225 juta jiwa dengan penduduk miskin cukup besar itu membutuhkan pendidikan karakter," ucapnya.

Penulis sejumlah buku pendidikan dan kewirausahaan itu mengatakan, karakter yang diharapkan lahir dari dunia pendidikan adalah karakter yang jujur, tidak minta-minta, dan mampu menemukan jati diri.

"Kalau pendidikan hanya mengukur seseorang dari aspek nilai matematika, fisika, dan kimia maka pendidikan di Indonesia tidak akan melahirkan karakter," ujarnya.

Pendidikan karakter
Masalahnya, quo vadis (ke manakah perginya) pendidikan karakter dalam kurikulum pendidikan di Tanah Air tercinta?!

"Pendidikan karakter itu jangan seperti dulu lagi, seperti pendidikan Pancasila yang dimasukkan dalam mata pelajaran," kata artis yang juga praktisi pendidikan, Dewi Hughes, kepada ANTARA di Surabaya.

Di sela-sela orientasi peningkatan kapasitas kelembagaan dan penyelenggaraan program pendidikan masyarakat di Surabaya, presenter berbagai mata acara televisi itu menilai pendidikan karakter tidak boleh ada secara khusus.

"Karakter itu enggak boleh khusus, tapi dimasukkan dalam kurikulum pada semua mata pelajaran, misalnya pendidikan budaya, agama, ekonomi, matematika, kewirausahaan, dan sebagainya," tutur pemilik PKBM/TBM E-Hughes itu.

Misalnya, pelajaran ekonomi atau kewirausahaan harus diberi "selipan" materi yang mengajarkan tentang kejujuran, kepercayaan, keberanian, dan sebagainya.

"Kalau pada pendidikan formal yang bersifat khusus seperti Pancasila atau budi pekerti, saya kira pendidikan karakter akan justru sulit masuk karena hanya menjadi pengetahuan atau hapalan," ucapnya.

Oleh karena itu, katanya, kurikulum untuk semua mata pelajaran harus diberi muatan tentang pendidikan karakter di dalamnya. Pandangan itu dibenarkan pengamat pendidikan dari ITS Surabaya, Daniel M Rosyid PhD.

"Dalam dua dekade terakhir, pendidikan di Indonesia mengalami dis-orientasi, karena pendidikan di Indonesia justru mengarah kepada dunia industri seperti yang pernah terjadi di Amerika dan Inggris pada 30 tahun lalu," katanya.

Padahal, kata mantan Ketua Dewan Pendidikan Jatim itu, disorientasi dalam dunia pendidikan di Indonesia itu justru menjauhkan pendidikan dari dunia industri.

"Saya kira, disorientasi harus diatasi secara de-schooling atau mengarahkan pendidikan sebagai ihtiar dalam pelayanan atas kebutuhan masyarakat, terutama masyarakat pelajar dan orangtua mereka," katanya.

Agaknya, pendidikan di Indonesia sudah saatnya untuk memihak kepada kompetensi, baik kompetensi keahlian maupun kompetensi karakter; bukan hanya kompetensi matematika, kimia, fisika, dan sejenisnya, melainkan justru dua kompetensi, yakni keterampilan dan karakter.

Oleh Edy M. Ya'kub

Kritik Pendidikan



Meski mewarisi sistem kolonial, pendidikan kita dibangun dan dibesarkan dalam tradisi kritik nasionalis.

Pendiri Sarekat Islam, Taman Siswa, Muhammadiyah, dan sekolah-sekolah yang dikategorikan ”liar” oleh pemerintah kolonial menyandarkan keberhasilan perjuangan politik pada ketangguhan kritik yang dibangun. Kritik menjadi kekuatan perlawanan atas sistem pendidikan yang hegemonik, diskriminatif, dan hanya terpaku pada misi reproduksi kelas sosial.

Tradisi kritik yang tangguh itu kini luntur atau bahkan lenyap. Indikasinya, semakin deras kritik dilontarkan atas suatu kebijakan pendidikan, semakin keukeuh kebijakan dipertahankan. Indikasi ini memiliki dua dimensi. Sikap pembuat kebijakan yang amat kenyal semakin sulit ditembus karena pisau kritik yang tumpul.

Kunci efektivitas kritik adalah campuran verbalitas, frekuensi kritik, dan rasionalitas substansi. Selain itu perlu disadari, ranah se-publik pendidikan adalah ekosistem aneka kepentingan. Implikasinya, tiap kebijakan dan praktik pendidikan pasti bermuatan politis. Kritik pendidikan yang efektif mengandaikan terbukanya ruang kompromi. Sudahkah ini terperhatikan?

Dua hal

Ada dua hal yang mendesakkan kebutuhan akan kritik(us) pendidikan yang tangguh. Pertama, akar krisis pendidikan Indonesia (Kompas online, 21/8/2009) bukan hanya hilangnya political will pemerintah untuk melindungi rakyat dari neoliberalisme, tetapi juga absennya kontrol atas kebijakan melalui kritik tajam dan terukur.

Kedua, jajak pendapat Kompas (24/8/2009) menunjukkan, pemerintahan nanti cenderung sulit dikontrol karena kuatnya koalisi partai dan lemahnya pengawasan. Hal ini mencuatkan penguatan civil society. Bersama elemen masyarakat (mahasiswa dan LSM), kritikus pendidikan ditantang menjalankan fungsi penyeimbang kebijakan publik.

Otokritik

Selama ini kritik pendidikan cenderung menyorot pemerintah secara bias. Pemerintah menjadi faktor sentral pembuatan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan. Namun, mustahil jika kisruh pendidikan seluruhnya bersumber pada pemerintah.

Pemerintah yang mana? Dalam anggaran pendidikan, pemerintah pusat dan daerah senapas desentralisasi dan otonomi. Ujian nasional adalah kebijakan pusat, tetapi juga harus disebut Badan Standar Nasional Pendidikan dan mungkin dinas pendidikan di daerah.

Sertifikasi guru diatur pemerintah pusat. Namun, dalam beberapa kasus, seperti terlihat pada surat pembaca, kepala sekolah bertindak sebagai ”pemerintah”, meramaikan proses sertifikasi.

Kedua, kritik sering mengabaikan karakter politis pendidikan sebagai ekosistem aneka kepentingan. Dalam hal ujian nasional dan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, ada arah untuk menolak tanpa kompromi. Artinya, sementara mengkritik paradigma kekuasaan, penolakan tanpa kompromi menunjukkan hal yang sama. Perspektifnya win-lost alih-alih win-win.

Ketiga, banyak kritik kering sajian dan kajian data, mengemuka hanya sebagai wacana. Ini bisa diamati dalam berita dan opini di media sepanjang tahun (misalnya menjelang 2 Mei, 17 Agustus, dan 25 November). Forum diskusi pendidikan sering menjadi ajang curahan hati daripada pembahasan secara substantif.

Keringnya sajian dan kajian data membuat kritik gagal membangun rasionalitas argumen yang, meski politis, berpijak pada kadar obyektivitas tertentu.

Membangun tradisi

Tradisi kritik harus dikembangkan dan kritikus disiapkan. David J Flinders dan Elliot W Eisner (2000) menyebut kritik pendidikan sebagai ”pendekatan yang menghidupkan keragaman dan aneka peluang belajar dalam interaksi dalam ruang kelas”. Sementara itu, Mary Stokrocki (1991) mengurai sebagai a research process of describing, analyzing, interpreting, and evaluating an everyday school activity in order to understand it more fully.

Pemahaman ini cukup untuk keperluan assessment pengajaran, tetapi belum mengakomodasi konsep kritik dalam konteks hubungan warga dan negara. Maka, tumbuhnya tradisi kritik belum dapat diharapkan melalui cabang ilmu pendidikan seperti evaluasi maupun kebijakan pendidikan.

Meski demikian, cara struktural tetap dapat ditempuh, misalnya melalui komponen analisis sosial dalam pengajaran. Juga diperlukan pengenalan lebih luas teks-teks kuliah yang berperspektif filsafati dan historis.

Lembaga penelitian pendidikan perlu dikembangkan sebagai think tank. Bagian litbang media massa dan media kampus digiatkan sebagai penyedia data dan kajian agar berita-berita pendidikan lebih kritis. Berbagai organisasi guru adalah buah reformasi bertumbuhnya kesadaran politik tentang aneka masalah pendidikan.

Kesediaan melakukan otokritik merupakan kunci berkembangnya kritik pendidikan tangguh sebagaimana dilakukan Ki Hadjar Dewantara dan YB Mangunwijaya.

Agus SuwignyoPedagog FIB UGM