Web Toolbar by Wibiya

Jumat, 20 November 2009

Seniman : Tamu Tak Diundang

Di tengah era kebebasan, nyatanya kita tidak bisa lagi mengatur-atur agar ungkapan komunikasi yang disampaikan ditengah publik harus dengan bahasa bagus-bagus, apalagi tanpa berpatokan pada realitas. Rasanya, ungkapan “Kata-kata yang tulus tidak enak didengar, kata-kata yang enak didengar tidak tulus” kian melambung tinggi bunga kebenarannya. Orang-orang belakangan ini, tidak ramah lagi dengan budaya umbar janji muluk yang tanpa selekas mungkin dibarengi dengan aktualisasinya. Sebab upaya kritis, reaksi (baca: demonstrasi) selalu membuntutinya. Mungkin lebih mudah kita mengatakan, bahwa ekspektasi rakyat lebih menomorsatukan kebijaksanaan beraksi ketimbang kelihaian berbahasa ala bacunin, misalnya. Orang semakin hari semakin menaruh iman pada “non pulchra verba sed facta”. Gejala ini, tak lain dan tak bukan karena sense akan otentisitas fenomena hidup semakin tajam.

Fenomena appearance

Hidup yang dibaluti dengan berbagai kosmetik luaran, yang tidak loyal dengan bicaranya roh (meminjam istilah Pak Bambang), tampil dan bergelora tidak sebagaimana seadanya (belum tentu seharusnya). Seolah menarik dan menawan didengar, dilihat dan dirasakan, padahal bisa jadi itu hanyalah sebuah proses dalam memoles realitas. Manakala hidup dibiarkan menggejala atas dasar stilimus roh, biasa tampilan dilihat kurang etis, tidak menarik, tidak enak didengar dan dirasa. Sebab dalam ke-an sich-annya di dalam batin, penggerak hidup tidak ditandai dengan berbagai aturan, norma, etika yang nota bene adalah buatan manusia dalam “menata” hidup. Betullah ungkapan “kata-kata (bisa dibaca : aksi) yang tulus tidak enak didengar, kata-kata yang enak didengar tidak tulus”, bahwa hidup yang sudah ditukangi tampilannya kerapkali terasa menarik dan beradap, sementara hidup yang ditampilkan apa adanya biasa dianggap menjadi biadab, tidak etis.

Seniman adalah salah satu sosok yang tak kenal kompromi dan tak gandrung akan kebasa-basian, tetapi reflektif akan kebanalan hidup. Ia tidak seperti “ilmuwan” yang “bermain” “dalam dan dengan” realitas dengan pisau bedah logika akal diskursif, tetapi dengan harmoni logika rasa-imagi yang tak lain digerakkan oleh passion, mood, hasrat. Maka, secara norma dan aturan kerapkali seorang seniman dianggap sebagai figur yang asing dan nyentrik, kurang paham “modis dan sikon’. Sebab orientasinya adalah kebenaran eksistensial, menampilkan sisi-sisi hidup sejauh apa adanya tanpa polesan, dan bukan kebenaran moral atau sejenisnya.

Jeritan seniman

Larik-larik puisi berikut ini adalah buah ungkapan seorang seniman, atau setidak-tidaknya seorang yang berjiwa seni. Ungkapan sebagai jeritan jeroan rimba hidup.

"Apa artinya bertugas mulia
Ketika kami hanya terpinggirkan tanpa ditanya, tanpa disapa.
Kapan sekolah kami lebih dari kandang ayam.
Sejuta batu nisan guru tua yang terlupakan oleh sejarah
Terbaca torehan darah kering.
Di sini terbaring seorang guru, semampu membaca bungkus sambil belajar menahan lapar, hidup sebulan dari gaji sehari."


Bait-bait puisi “Sekolah Kandang Ayam” diatas, dibacakan oleh seorang Winarno, dihadapan Wapres J.Kalla, akhir November tahun 2005. Sekilas sambarannya menuai reaksi dari pendengar. “Gedung sekolah kita, walau tidak lux, sudah pasti tidak seperti kandang ayam. Dan tidak mungkin gaji guru habis sehari”, reaksi Wapres yang mencoba mengurai fakta. Yang jelas, puisi diatas adalah bahasa hati dari seorang seniman (sekurang-kurangnya berjiwa seni). Tentulah, ber-style-kan metaforis simbolik bukan literel diskursif. Seorang yang selalu hadir, tidak bercorak sebagaimana formalnya. Karenanya, pesan yang tersirat dapat diperoleh tidak dibaca dengan gaya non simbolik. Bijak bin luhur, jika dibaca dan dipahami dari kaca mata seorang seniman, bukan ilmuwan, praktisi hukum, politik dan bukan juga ekonom. Disamping itu, anda semakin beradap paham kenetralan atau ketidaknetralan sebuah ungkapan, sebagai mana Theory and Praxis-nya Habermas. Bahwa tidak pernah netralnya sebuah pendapat, ide, dan hasil kreasi. Pendapat manusia minimal mengandung “Cognitive Interest”.


Sekilas murahan

Seni sebagai pisau bedah seniman, tak ayal lagi terkesan murahan dan illegal ketimbang cara dan alat orang kebanyakan yang legal dan formal (kesannya). Kalau sang hakim mendefenisikan duduk perkara dengan formal literer alias hukum; politikus menukangi kesempatan sebuah situasi kondisi dengan akal dan kelihaiannya; sang ekonom mentafsirkan dan mematerialkan ruang dan waktu dengan angka dan grafik, maka sang seniman unjuk aksi dengan rasa, imagi dan simbolik, atau B. Paskal menyebutkannya dengan “logika hati”. Bisa dimengerti (atau juga tidak), sebab ia tampil terutama karena tuntutan passion, kemoodan hasrat dalam jeroan internalitas. Dengan kata lain, seni terlahir manakala riak-riah roh berbicara, berkat ketajaman sensibilitas atas hidup.

Menguakkan tabir

Dalam ketidakformalannya, seorang seniman menemukan hakekat kesenimanannya. Tidak aneh dan ajaib, jika seorang seniman, semakin berfungsi, manakala ia mengundang suara, kelepak riak sekecil apapun di air danau kehidupan. Seniman dengan karya seninya, mengundang reaksi dalam pengembaraannya di safana kehidupan, memuncratkan ke-real-an di fatamorgana hidup yang penuh simulacrum, menandakan keberhasilannya merogoh kebermaknaan hidup. Hasil karyanya, bergelanyut dan menghasilkan polemik dan mengundang orang untuk melemparkan reaksi. Maka, seniman pun menjadi penimbul hidup, gerak, kelepak, dan menggagahi tidurnya kesadaran orang untuk berpikir. Menstimulus kita untuk tidak terlalu puas akan hal yang banal, literer, luaran dan menyuntukkan elan vital untuk mencari kedalaman, intimitas. Dan apabila orang sudah usang pada pemikiran lama, ia menggejala untuk menampilkan nuansa baru dari pemikiran. Selama, seniman dengan buah karyanya, mampu menyalakan api kesadaran dan membuat gerakan, baik itu berupa protes, larangan, pro-kontra, serta memancing pembicaraan diatasnya, selama itu pula sang seniman mampu mempertajam refleksi atas kehidupan manusia, baik secara personal maupun secara komunal.

Yakinlah anda, bahwa seorang seniman membuka tabir tidak dengan gaya orang kebanyakan. Kadangkala terasa nyentrik, aneh, tidak logis dan kesannya murahan, tetapi biasa juga terasa tajam, menyengat. Itulah sosok seorang seniman manakala tampil berkat primas jeroan internalitas.

Ketika hidup yang holines dimampatkan atau dimonopoli pada realitas yang dikerdilkan, maka seniman hadir untuk menghadirkan sisi lain (the other) dari realitas. Berkat rangsangan dari dalam, seniman mampu menggeledah kesadaran dan ketaksadaran, manakala ia mencuat. Ia memperkaya banalitas sehari-hari dan menguakkan tabir topeng-topeng yang berkamuflase. Tak aneh lagi, seorang seniman pun mampu merumuskan tersirat di balik yang tersurat, simbol dibalik tanda dan mencairkan segala sikap yang membatukan paradigma. Seniman menjadi sang katalisator dengan ambulancenya, menyadarkan kita bahwa kebenaran tak selalu pas dengan pemahaman logis-proposisional ataupun dogma. Kebenaran itu hanyalah pencariaan yang tak kunjung temu dan perjalanan yang tak kunjung tiba.

Tak puas, ia pun mampu merangsang kita, untuk selalu kembali menggeledah kandungan sisi misterius dalam kehidupan : perasaaan, impian, ketakutan, pola-pola reaksi kita atas dunia luar atau pun konflik-konplik kita yang paling tersembunyi (Bambang Sugiharto, 2005). Itulah sisi transformation seorang seniman, yang tidak hanya involutif (baca: berbuat dan bernubuat untuk kepentingan dan kesenangan sendiri). Sisi transformatif seorang seniman terlihat dalam kepedulian terhadap nasib orang lain (kesentrifugalannya), terutama mereka yang terdesak oleh yang kuat, misalnya. Lebih dari itu, ia berhasrat untuk menunjukkan jalan “kesadaran” atas perubahanan struktur mana yang mesti ditempuh agar terjadi perubahan nasib dalam berbagai aspek kehidupan (Mudji Sutrisno, 2003 )

Dengan demikian, seniman bekerja tidak terutama atas tendensi, interested sepupunya KKN, dan pamouritas, atau sebangsa kolusi lainnya. Tetapi bekerja untuk selalu setia pada nurani. Seniman berkarya, manakala roh berdenyut. Sejalan dengan Shaftesbury (1671-1713), yang pernah mengatakan bahwa “estetika” sebagai ketanpapamrihan (disinteredness). Baginya, kesetujuan dan keimanan pada sebuah estetika, adalah demi pengejawantahan sebuah moral atau setidak-tidaknya sebuah insight, maka si seniman tidak boleh dimotivasi oleh motif egoistis. Atau “ What is Art”nya Tolstoy, yang pernah mengatakan “seniman hanya bisa dibenarkan dan disebut sebagai seniman sejati, bila mampu memberi pengalaman cinta persaudaraan pada umat manusia”. Dengan demikian, mencari pengalaman dalam kesenian, demi memuasi dan kesenangan diri sendiri, merupakan bentuk terburuk hiburan diri dari kesenimanan.

Ahirnya, seniman adalah tamu yang tak diundang

Kehadirannya dalam sengkarut tali-temali kehidupan adalah tanpa dijadwalkan. Ia tampil tidak terutama atas undangan, formalitas, tetapi kerapkali tak disangka-sangka, tanpa dugaan. Gerak hidupnya berjadwalkan mata hati kedalaman refleksivitas. Sebagai tamu tak diundang, penampilannya pun selalu nyentrik, tidak seragam, tidak mengikuti kebiasaan (habitual) kebanyakan orang. Seniman mendunia dengan style-nya sendiri, dengan bahasa dan cara nya sendiiri. Seniman bukalah Hakim, bukan juga Sosiolog, Ekonom, atau Politikus, yang biasa dan bisa dijadwalkan atawa diprediksikan waktu aksinya (bisa dibaca : jam ngantor). Seniman adalah aktor yang pisau bedahnya terutama didasari oleh kesetiaan pada jeroan internalitsanya (inilah kantornya) dan getar bicara roh, bukan pada hukum, undang-undang, bukan juga kebiasaan, kesepakatan (traktat), atau juga dogma ajaran (apalagi herrennya Nietche). Maka bicara tentang sangkan paran seniman, sejauhmana kita memahami seniman dan kesenimanan ? Seberapa banyakkah seniman kita mendapatkan ruang dalam tata hidup sehari-hari ?

0 komentar:

Posting Komentar