Web Toolbar by Wibiya

Senin, 23 November 2009

"Kematian yang Menghidupkan"

Sebuah Catatan Ringan tentang Makna Kehidupan[1]

________________________________________________________




Pengantar

Banyak orang berpendapat bahwa hidup ini bersifat ironis. Karena manusia sebenarnya tidak pernah meminta agar ia dilahirkan, tetapi begitu ia lahir, mencintai hidup dan kehidupannya, ia dihadapkan pada realitas yang sangat menyakitkan hatinya. Itulah kematian. Semua orang tahu bahwa kematian adalah kewajaran dalam hidup, tetapi tidak sedikit orang yang mau menyangkalnya. Bahkan berpikir tentang kematian atau sekadar membicarakannya saja, kerapkali dianggap tidak sehat. Bisa menganggu dan membahayakan keseimbangan psikologis. Singkatnya kematian itu sesuatu yang menakutkan. Catatan ini mau menggoreskan sisi lain dari kematian itu, yang bukan menakutkan. Bahwa kesadaran akan kematian itu mampu menelurkan individu-individu yang matang secara spritual (Miguel de Unamuno). Sejatinya berpikir dan sadar tentang kematian, menghantarkan manusia pada sebuah refleksi transendental (beyond), sampai kepada kesadaran akan keniscayaan dan kesementaraan kematian.“ Memikirkan kematian, itulah yang membuat orang semakin manusiawi”. “Pantas dikenangkan saat mana manusia untuk pertama kali membicarakan kematian, karena hari itulah terjadinya metamorphosis manusia menuju ke kematangan”, (Andre Malraux). Kiranya catatan ini mampu menghantarkan kita.




Sebuah Keniscayaan
Dalam satu kesempatan, Abdul Hamid bin Zainal bin Abdul Jabbar alias Hamid Jabbar pernah berujar “Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku? Barangkali satu denyut lepas, o satu denyut lepas tepat di saat tak jelas batas-batas, sayangku: Segalanya rehempas,osegalanya terhempas”[2] Jabar benar bahwa hidup dan mati hanya diantarai oleh ruang dan waktu yang tipis, nyaris tak terlihat. Bahwa hidup dan mati ibarat dua sisi dari sebuah uang logam. Tersedia peluang yang sama dari dua kemungkinan manakala kita kuasa memutarnya. Itu sebabnya, J. Paul Sartre sendiri menjustifikasi kematian sebagai peristiwa yang tak terpahami. “Fenomena kematian adalah kenyataan yang menyergap secara tiba-tiba dan membuta, sehingga manusia tidak mampu mengontrolnya. Kedatangannya tidak bisa diperhitungkan dan sangat mengejutkan manusia yang sedang merencanakan hidupnya dan berusaha mewujudkannya.” Ibaratnya, kematian itu adalah tamu tak diundang dalam pesta hidup kita. Tidak bisa diterka kapan datangnya. Kita hanya bisa bersiap-siap.

Semua orang pasti tahu jika kematian adalah pengalaman yang tidak bisa disangkal dalam kehidupan manusia[3]. Ironisnya kematian itu sendiri tidak pernah tebang pilih siapa yang akan dijemputnya. Siapa kita, darimanapun kita berasal, pada waktunya akan berhadapan dengannya. Tak ada orang yang bisa menghalanginya. Kendati demikian, tak sedikit orang yang berusaha mau menghindarinya. Usaha tentu saja bukan jalan yang ampuh mengatasinya. ''Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata,''[4], menyadarkan bahwa segala upaya kita tak mampu menundukkannya. Manusia hanya bisa berharap kepada sang Pemberinya tanpa kuasa menentukannya. Kematian karenanya bisa menjadi sebuah tragedi kehidupan yang paling mengenaskan bagi umat manusia. Sekaligus sebagai peringatan agar kita ingat, bahwa sebagai umat manusia sebenarnya juga ngantri dan tunggu giliran.

Kematian berarti keterpisahan dan jarak yang ditimbulkannya menjadi tak terukur, tak terbatas. Semakin dekat jarak fisik dan emosi kita dengan seseorang, semakin kita tidak bisa menerima realitas kenyataan. Semakin jauh jarak, semakin terasa wajar kematian itu. Kendati demikian, akhirnya bagi seluruh manusia harus menerimanya sebagai “nasib”, sesuatu yang tak mungkin dielakkan, sebagaimana kelahiran dalam kehidupan itu sendiri. Lantas kapan kematian terjadi ?




Kematian Terjadi

Setiap manusia mengakhiri hidupnya di dunia ini dengan kematiannya. Sebab-sebab kematian itu sendiri bermacam-macam. Berdasarkan cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian kedalam tiga jenis. Pertama, Orthohanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah. Kedua, Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar. Ketiga, Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan (atau tidak) medis. Berdasarkan ketentuan medis seorang manusia dianggap telah mati jika jantungnya sudah tidak berfungsi lagi sebagai pengedar darah ke seluruh tubuh, otaknya mulai membusuk dalam waktu seperempat jam karena tidak memperoleh darah, dan seluruh badan tidak dapat lagi digerakkkan dalam keadaan dingin. Inilah yang disebut dengan metode “eletroencephalogram” (EEG) dalam dunia medis[5]. Tetapi metode “electroencephalogram” (EEG) ternyata pernah menuai ketidakabsahannya. Sebab, dalam beberapa kasus( seperti mati suri ) orang yang otaknya dinyatakan tidak berfungsi lagi, kemudian dapat dipulihkan dan sehat kembali. Disiplin Thanologi mengemukakan bahwa kematian sungguh terjadi ketika melalui beberapa tahap[6]. Pertama, kematian organis atau biasa disebut kematian separuh. Ditandai oleh tidak berfunginya organ tertentu dalam tubuh dan disusun oleh organ lain. Kedua, kematian otak yang sering disebut kematian kematian utama. Ketiga, kematian total yaitu kematian seluruh organisme sebagai suatu kesatuan. Inilah kematian yang tidak bisa diragukan. Kematian yang membawa kehancuran seluruh organisme tubuh manusia (material). Pada saat itu pula, seluruh kepribadian manusia hancur, karena sama seperti tubuh lainnya, kepribadian merupakan salah satu bagian dari seluruh diri manusia.

Pesona dan Misterinya

Kematian Sebagai Kemungkinan Baik
Dalam arti apakah kematian bisa disebut sebagai sesuatu yang baik. Kematian seorang Hitler atau Osama bin Laden misalnya, sangat mungkin memberikan manfaat besar bagi orang lain. Sebab dengan penegasian sosok seperti mereka, barangkali membebaskan banyak orang dari ketakutan dan ketertekanan. Kematian juga menyimpulkan kemungkinan baik manakala bisa menanggulangi kelebihan jumlah manusia, melindungi variasi genetik dll. Ya, manakala kematian itu tidak merugikan mengandaikan adanya kemungkinan baik. Seperti ditegaskan filosof Yunani Kuno, Epicurus. Menurutnya kematian tentu saja tidak (mungkin) merugikan. Sebab ketika kita masih hidup, kematian itu belum terjadi. Jadi, belum bisa merugikan kita. Dan setelah kita mati, tak ada lagi kehidupan yang bisa dirugikan. “Kematian tidak bisa merugikan kita sampai kejadian itu benar-benar terjadi, tetapi seandainya terjadi, kita sudah tidak ada lagi dan tidak merasakan kerugiannya. Seandainya pun merugikan, kematian bukanlah sesuatu yang buruk setidaknya bagi si mati”.[7]




Kematian Sebagai Kemungkinan Buruk

Kematian bagi sebagian orang lagi adalah peristiwa yang paling merugikan. Apa lagi jika kematian diartikan sebagai the end, berahir, putus tanpa kesinambungan, kesudahan tanpa adanya kehidupan lain, tentu saja minyisakan kesia-siaan yang amat dalam. Lantas orang akan bertanya apalah arti cinta, belas kasih ,hidup selibat (dll) kalau bukan bukan untuk sesuatu yang kelak. Semuanya bisa menjadi sia-sia tanpa makna. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, sehubungan dengan argumen Epicuros bahwa kematian tidak pernah merugikan, adalah: bagaimana bisa suatu perampasan merugikan kita jika kita sudah tak ada lagi ketika perampasan terjadi ? Menjawap pertanyaan ini, kita harus bisa memahami konsep bahwa ada hal yang bisa terjadi pada diri kita kendati kematian sudah menjenguk kita. Dengan kata lain, kita harus bisa memahami konsep bahwa akan ada hal yang terjadi pada kita selain kehidupan sekarang ini. Dan itu hanya bisa dengan pengakuan akan adanya “kemungkinan” dalam hidup seseorang. Maka kematian itu merugikan sebab mencegah sejumlah kemungkinan si mati. Tetapi argumen ini kurang memadai untuk melawan argumen Epicuros, sebab kemungkinan sendiri menyimpan ketidakteraturan. Bukankah setiap orang memiliki banyak kemungkinan, sehingga tidak bisa dikatakan sebagai miliknya sendiri. Bukankah kemungkinan terlalu berjarak untuk dijadikan sebagai milik kita, sehingga perampasan terhadap kemungkinan tidak bisa dikatakan sebagai kasus kerugian yang jelas. Kita harus memahami kematian sebagai perampasan atas sesuatu yang benar-benar kita miliki, bukan sekedar kemungkinan. Satu satunya argumen yang bisa mengafirmasi bahwa kematian sungguh merugikan adalah perampasan terhadap masa depan[8]. Bagaimana mungkin, bukankah masa depan itu sesuatu yang belum ada. Bukankah masa depan juga hanyalah segumpal kemungkinan juga ? Memahami masa depan bukan sebagai sesuatu yang mungkin kita miliki, tetapi lebih pada sesuatu yang benar-benar kita miliki disaat sekarang meskipun masa depan itu belum ada. Sebab kalau tidak demikian dipahami, kematian tentunya tidak akan bisa merampasnya dari kita. Masa depan dengan demikian bisa dipahami dan ditafsirkan dengan memahami masa depan sebagai milik seseorang, sebab memiliki status tertentu mengarahkannya menuju kemudian hari. Status itu seperti hasrat, sasaran, dan rencana. Salah satu makna yang membuat hasrat, sasaran, dan rencana mengarah kedepan adalah memuaskan dan memenuhinya dengan memerlukan waktu[9]. Status ini ada, benar-benar ada dan adanya sekarang dan mengarah kedepan: status itu menghubungkan kita ke masa depan sehingga membuat kita benar benar bermakna, memiliki masa depan itu. Manusia kata Martin Heidegger adalah makhluk yang-lahir (ada)-untuk-mati (Sein-zum-Tode)[10]. Kita semua pada dasarnya mengarah ke masa depan yang belum ada, itulah yang dirampas kematian.




Kegentaran Akan Kematian

Semua mahluk hidup akan mati tetapi hanya manusia yang tahu bahwa ia akan mati, dan hidup dalam kesadaran akan hari akhir itu.[11] Kesadaran akan kematian itu menimbulkan berbagai sikap pemberontakan kepada manusia, sebab pada hakikatnya manusia ingin hidup kekal di dunia ini. Dunia dipahami sebagai perwujudan citra manusia sesamanya. Satu-satunya hal bisa yang menghambat perwujudan citra manusia adalah kematian. Tak aneh, jika hidup manusia selalu di bayang-bayangi rasa takut pada si penghancur, yang pasti akan datang dan mengakhiri segala yang dirasakan dan dimiliki selama ini menjadi sia-sia belaka. Lantas kematian itu justru menjadi musuh paling keji yang terus menghantui ketenangan manusia sepanjang masa.“Manusia takut terhadap kematian seperti anak-anak takut berjalan kedalam gelap”, kata Francis Bacon pada tahun 1625. Beberapa tahun setelah pernyataan Bacon, tepatnya tahun 1676 seorang penyair, John Dryden namanya, menawarkan jawaban yang agak berseberangan dengan Bacon. “ Kematian itu sendiri sebenarnya bukan apa-apa”, jika manusia bisa memahami apa sesungguhnya kematian itu. Manusia takut akan kematian, menurut Dryden, sebab menyimpan misteri yang tiada pemecahannya.

Membahas soal kematian saja, bisa menimbulkan sebuah pemberontakan yang menyimpan kepedihan pada setiap jiwa manusia (Yaitu kesadaran dan keyakinan bahwa mati pasti akan tiba serta punahlah semua yang dicintai dan dinikmati dalam hidup ini). Sebab pertanyaan tentang kematian adalah pertanyaan yang muncul dari kesangsian. Kesangsian lahir dari ketidakpastian, ketidakpastian menimbulkan kegelisahan. Kegelisahan pada akhirnya membawa manusia kepada kecemasan dan ketakutan. Kesadaran ini lalu memunculkan sebuah proses berupa penolakan bahwa masing-masing kita tidak mau mati. Setiap orang berusaha menghindari semua jalan yang mendekatkan ke pintu kematian. amun yang membuat kita takut adalah ketidaktahuan kita apa dan dimana kematian itu berada. Sesuatu yang tak dikenal memang cenderung untuk ditolak.

Walaupun orang selalu selalu berhadapan dengan fenomena kematian, sesungguhnya ia menolak keras fakta itu dan akhirnya timbulah sebuah kesadaran bahwa ia tak sanggup berbuat kecuali takhluk. Manusia takut terhadapnya bukan saja karena kematian itu menakutkan tetapi karena kematian itu menegasikan eksistensinya di dunia ini. Sebab hanya kematianlah yang bisa menghancurkan tubuh dan segala sesuatunya yang selama ini dipelihara, akhirnya menjadi segumpal tanah sebagaimana kehancuran makhluk lainnya. Kematian ditakuti sebab seolah-olah mau mengatakan kepada manusia bahwa segala sesuatunya di dunia ini pada akhirnya sia-sia. Kaum eksistensialis seperti Heidegger misalnya-mengatakan “ ketakutan yang terbesar manusia dalam sejarah hidupnya adalah menghadapi kematian”. Karena bagi kaum eksistensialis hakekat manusia adalah ada dan hidup. Dalam bahasa puitis Anwar dirumuskan dengan : “ aku ingin hidup seratus tahun lagi”. Karenanya kematian yang menegasi eksistensi itu disebut sebagai sumber malapetaka dan memburatkan cahaya absurditas. Hidup ini nonsen, tak punya makna. Hidup pun menjadi sebuah keterlemparan (Karl Jaspers). Persis seperti Sysiphus dalam legenda karya Albert Camus. Hukuman para dewa telah memaksanya untuk mengangkat bebatuan besar ke atas bukit hanya untuk tahu bahwa bebatuan itu akan menggelinding ke bawah dan ia harus mengangkatnya kembali. Terus-menerus demikian, sepanjang hidupnya. Demikian kuatnya perasaan mengenai absurditas kehidupan ini hingga – seperti banyak filosof eksistensialis modern lainnya – Camus merumuskan apa yang dianggapnya sebagai satu-satunya tugas filsafat: mencari jawab kenapa manusia tidak bunuh diri saja! Ya, seharusnya, di hadapan absurditas dan kesia-siaan yang mengepungnya, bunuh diri adalah pilihan yang paling rasional.

Sebenarnya rasa takut menghinggapi setiap orang yang menyangka bahwa kematian itu menyebabkan rasa sakit yang tak terperikan; atau akan menerima siksa, atau pada orang yang merasa sedih dan menyesal karena akan berpisah dengan harta atau kesenangan duniawinya[12]. Kematian itu ditakuti sebab manusia tidak mengetahui hakikat kematian, atau tidak tahu kemana tujuan hidup setelah kematian (Ibn Maskawaih)[13]. Bisa juga orang menyangka bahwa setelah jasmaninya rusak, dirinya pun hilang juga, maka ditakuti. Kemungkinan lain, orang mengira bahwa alam ini akan terus lestari sedangkan dirinya sudah musnah karena tidak mengerti bahwa diri dan jiwa itu kekal, ia tidak mengerti bahwa diri dan jiwa itu kembali ke hadirat Allah. Kematian menjadi lebih dramatis, apalagi kalau peristiwa itu melibatkan diri kita, orang yang kita cintai, orang yang sangat kita butuhkan, orang yang mempengaruhi atau menentukan jalur hidup kita. Akibatnya, meskipun kita (manusia) hidup di alam dimana semua makhluk lahir, tumbuh dan mengalami kematian, tidak begitu mudah menerima kematian itu sendiri, atau menerimanya sebagai sesuatu yang wajar.[14] Manusia takut karena ia tidak pernah ingat kematian dan tidak mempersiapkan diri dengan baik dalam menyambut kehadirannya. Kematian ditakuti[15] terutama, Pertama, karena ia ingin bersenang-senang dan menikmati hidup ini lebih lama lagi. Kedua, ia tidak siap berpisah dengan orang-orang yang dicintai, termasuk harta dan kekayaannya yang selama ini dikumpulkannya dengan susah payah. Ketiga, karena ia tidak tahu keadaan mati nanti seperti apa. Keempat, karena ia takut pada dosa-dosa yang ia lakukan selama di dunia ini.




Mengatasi Kegentaran

Menurut kebanyakan eksistensialis, kapan saja kita berhadapan dengan tidak-mustahilnya ketiadaan diri pada saat itu kita mempunyai “tanggapan eksistensial” alamiah yang mencakup sejenis kekhawatiran tertentu. Martin Heidegger dan Wittgenstein, membedakan antara kekhawatiran eksistensial dan kekhawatiran umum. Kekhawatiran umum adalah tanggapan empiris seorang manusia terhadap obyek yang mengancam [dia] di dalam dunia: itu biasanya mensyaratkan bahwa kita memerangi obyek itu dengan harapan menaklukkan ancamannya, atau, alternatif lainnya, melarikan diri dari obyek itu dengan harapan terlepas dari ancamannya. Tanggapan manusiawi adalah melarikan diri dari ancaman itu, karena memerangi “ketiadaan” tampaknya mustahil. Sebaliknya, kekhawatiran eksistensial adalah tanggapan di dalam lubuk seorang manusia terhadap situasi manusiawi umum, khususnya bila situasi itu mengungkap akan adanya “ketiadaan” atau “yang-tidak-berada”. Sikapnya bukan lagi melarikan diri melainkan membenamkan diri sedalam-dalamnya ke dalam obyek-obyek empiris yang terdapat pada pengalaman kita sehari-hari. Ini bisa dilakukan dengan banyak cara, seperti menekuni hobi, menonton televisi, menjadi penggemar fanatik olahraga, atau pun menjadi cendekiawan dan membenamkan diri dalam buku-buku. Maksud Heiddeger adalah bahwa cara lazim (tak sehat) yang berupa lari dari ancaman ketiadaan itu hanya berpura-pura bahwa itu tidak ada, dengan membenamkan diri dalam yang-berada.

Adalah sikap yang salah (bersalah) untuk merasa takut lantaran kehilangan keabadian sampai batas tertentu (Paul Tillich). Sikap terbaik terhadap kegentaran (akan kematian) adalah berpikiran jujur. Jujur bahwa kematian adalah jalan yang harus kita tempuh dan tidak bisa dihindari, lantaran hidup di dunia ini tidak otentik. Adalah suatu pengalaman yang salah, ketika kita melarikan diri dari keniscayaan kematian dan lompat kepada sebuah tameng keamanan yang ditandai argumen filosofis akan keabadian atau harapan religius akan kehidupan abadi. Sikap demikian, menurut Tillich hanya akan menambah kebergantungan berlebihan manusia pada imaginasi religius atau penalaran logis. Lebih lanjut menurutnya, satu-satunya tanggapan yang tepat terhadap kematian (hilangnya keabadian) adalah kegentaran eksitensial. Menghadapi ancaman ketiadaan dengan keberanian untuk berada secara eksistensial[16]. Maka bagi Tillich, sejalan dengan Kiekegaard, adalah memandang ancaman ketiadaan sebagai masalah eksistensial yang solusi mujarabnya tercapai pada tahap religius. Baginya, kita akan siap mengalami manifestasi keberanian untuk berada yang paling berbobot, hanya bila kita turut serta dalam melampaui diri, dalam bentuk keberanian untuk menerima keadaan[17]. Pengiyaan keberanian diri bukan sekedar keberanian untuk berada secara eksistensial sebagai diri itu sendiri, melainkan sampai kepada perbuatan paradoks (antara antipati simpatik dan simpati antipatik) yang didalamnya seseorang diterima oleh secara yang tak terbatas melampaui (beyond) diri sendiri tetapi lebih pada kesadaran akan adanya kematian itu. Setelah menjalani kehidupan kita dengan daya keberanian untuk berada yang paradoksis, akhirnya kita akan siap untuk menyambut kematian itu sendiri bukan sebagai konfirmasi tragis perihal kegentaran, melainkan sebagai langkah akhir dalam proses kehidupan panjang ini.

Dalam bukunya How We Die, Nullan mengafirmasi hal yang sama. Bahwa mengetahui kebenarannya Baginya dengan mengetahui kebenarannya dan bersiap diri menghadapinya, kita akan bisa membebaskan diri kita dari ketakutan terra incognita akan kematian yang mengakibatkan kebohongan diri sendiri dan disilusi”.[18] Lantas, kematian bukanlah pengalaman seorang (aku) manusia melainkan pengalaman semua (kita), tak ada kecualinya. Maka, bagi eksistensialis J.P. Sartre (1905-1980) perihal kematian adalah manusia tidak berkata “saya mati” tetapi “kita mati”. Kekitaan kita, katanya, akan mengurangi kesedihan, ketakutan mengajadapi maut, kematian.




Nasehat John Hick dan Heiddeger
Kegentaran bisa dikandangkan adalah perjalanan selangkah dari cataan ini. Bagaimana kematian bisa memancarkan buah-buah kehidupan adalah langkah yang lebih penting lagi. Itu dicapai dengan dengan merefleksikan hakikat hidup ini. Bahwa dihadapan kematian itu manusia bisa menatap dimensi ( kini dan nanti) kehidupan ini dan merangkai simpul-simpul makna darinya. Untuk itu John Hick (nanti) dan Heiddeeger (kini) pantas kami tawarkan.

John Hick : Hidup Nanti

Adanya fakta kematian mengharuskan manusia untuk menggali makna hidup yang lebih mendalam dan lebih berarti. Makna hidup yang masuk akal bagi John Hick adalah menerima fakta kematian sebagai bagian dari hidup. Maka kematian[19] bukan lagi dipandang sebagai sesuatu yang mestinya ditakuti, sebab kematian bukanlah akhir dari segala-galanya. Kematian adalah kiniscayaan, tidak satu jiwa pun mampu menghindarinya. Hanya manusia yang sadar dan hidup dalam kesadaran itu (John Hick). Kendati sadar, manusia biasanya memberontak, karena anggapan mereka fakta kematian akan menghambat bahkan meluluhkan perwujudan citranya di dunia ini. hidup yang masuk akal adalah hidup yang mengakui fakta kematian sebagai bagian dari hidup. Adanya fakta kematian, sejatinya akan menghantarkan manusia kepada penggalian makna hidup. Dan kematian menurutnya adalah bagian dalam proses perkembangan hidup yang akan mencapai puncaknya pada kekekalan (immortality). Itulah yang disebut dengan kehidupan kekal (eternal life). Hakikat hidup adalah proses pembentukan pribadi terus-menerus menuju kesempurnaan (ferfectio). Maka hidup tak lain adalah perkembangan yang belum berahir dan selesai dengan kematian. Kematian hanyalah sebuah loncatan untuk memasuki gerak evolusi menuju immortalitas. Titik immorlitas itulah yang disebut John Hick dengan titik perkembangan. Pada titik itu manusia telah mencapai kesempurnaannya. Dan immortalitas menurutnya, adalah sebuah konklusi yang mesti diterima demi penggapaian makna dalam kehidupan religius manusia. Sebab pada tataran itu (immortalitas), hidup manusia tidak ditandai lagi dengan kematian sebagaimana (situasi) terjadi di dunia ini, tetapi manusia ditandai dan dimasukkannya manusia dalam persatuan dengan Allah dalam keabadian (community with God). Dengan ini semua, John Hick meyakinkan kita bahwa kematian bukan lah akhir dari segala-galanya apalagi tanpa makna. Justru adanya fakta kematian mencuatkan kepada manusia kebermaknaan hidup, tentunya dengan keyakinan adanya eternal life [20]itu juga. Kematian dengan demikian bukan lagi sesuatu yang mesti ditakuti, mengingat ia bukanlah segala-galanya. Tetapi kesadaran akan kematian hendaknya menghantarkan manusia ke jenjang transendentalitas (beyond). Yang implikasinya menumbuhkan sikap lepas bebas akan hidup dan segala dimensinya yang sementara ini. Kesadaran akan kematian hendaknya mengingatkan manusia bahwa ada yang lebih “kuasa” dari manusia atau hidup itu sendiri; memampukan orang akan adanya asal dan tujuan hidup itu sendiri. Manusia tidak berkuasa untuk memastikannya, selain hanya berharap yang Diatas mampu menguranginya. ingat kematian membuat manusia tidak ngoyo dalam mengejar pangkat dan kemewahan dunia. Ia bisa menjadi legawa (qona'ah) dengan apa yang dicapainya sekarang, serta tidak akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi ambisi pribadinya. Kebaikan lain, manusia bisa lebih terdorong untuk bertobat alias berhenti dari dosa-dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil. Lalu, kebaikan berikutnya, manusia bisa lebih giat dalam beribadah dan beramal saleh sebagai bekal untuk kebaikannya di akhirat kelak. Dengan berbagai kebaikan ini, orang-orang tertentu seperti kaum sufi tidak takut dan tidak gentar menghadapi kematian. Mereka justru merindukannya, karena hanya lewat kematian mereka dapat menggapai kebahagiaan yang sebenar-benarnya, yaitu berjumpa dengan Allah dalam ridho dan perkenan-Nya.




Heidderger : Hidup Kini
Kematian dengan demikian menimbulkan riak-riak kebermaknaan hidup. Hidup adalah bermakna manakala manusia memberikan sesuatu yang berharga selama hidupnya di dunia ini (divergen diri). Sebelum kematian menjemput, hidup adalah bermakna jika manusia juga mampu memperoleh sesuatu yang berharga dari kehidupan ini (konvergen diri). Akhirnya manusia juga menemukan kebermaknaan hidupnya manakala sadar dan menerima apa yang tidak bisa diubah dalam hidup ini. Itulah kematian, yang sama sekali manusia tak kuasa membidani dan mengorganisasinya. Manusia hanya bisa berpasrah selain berefleksi tentang kematian itu sendiri, sebelum dirinya sendiri diterkam olehnya. Kematian, ketika direfleksikan akan mencuatkan nilai etisnya tersendiri yang mengisi dan mendewasakan kemanusiaan manusia. Pertama, peristiwa kematian merupakan kemungkinan unik, kerena ketidaktergantikan dan ketidakterulangannya. Artinya bahwa peristiwa kematian, tidak seperti peristiwa-peristiwa lain, tidak bisa digantikan dan diulangi oleh peristiwa dan orang lain. Kematian hanya bisa dialami sendiri (unik). Dengan menyadari itu akan mengingatkan setiap orang kepada keunikan personalitasnya. Dengan demikian orang akan semakin disadarkan untuk bertanggung jawap atas hidupnya sendiri. Tentunya dengan mengisi hidup sebaik mungkin. Kedua, kematian merupakan peristiwa yang tidak terbagikan dengan orang lain (tidak relatif). Artinya, kematian bukanlah peristiwa sosial, walaupun manusia itu sendiri homo socius. Kematian merenggut seseorang dari dunia sosialnya kepada kesendirian dan setiap orang akan mengalami kematiannya secara sendiri. Heidegger[21] menyebutnya sebagai peristiwa individuasi. Maka kesadaran akan kematian akan mengingatkan orang akan hidup yang dihayati dan dimiliki sendiri. Kematian datang untuk memutuskan hubungan sosial dan kita tidak terjamah lagi oleh simpati dan antipati sosial. Maka selagi hidup, mestinya kita bergelut seorang diri untuk menentukan pilihan pribadi dan segala konsekwensinya. Ketiga, kematian adalah peristiwa yang tidak bisa dilewati dan diatasi seolah-olah tak akan terjadi. Refleksi tentang kematian sebenarnya menyadarkan kita pada tuntutan hidup yang lepas dari kedangkalan dan kepura-puraan. Sebab pada waktunya, setiap orang harus mempertanggungjawapkan hidup ini kepada Sang Pemberi hidup. Kematian lah sebagai “pintu” untuk masuk kedalam “rumah timbangan” dalam mengkategorikan manusia macam apa aku ini setelah mati. Maka sebagai makhluk tertinggi, kita diajak untuk selalu mendayung hidup kepada kedalaman. Keempat, kematian adalah keniscayaan, peristiwa yang pasti terjadi. Kematian ibarat tamu tak diundang, tidak tahu kapan kedatangannya. Kematian adalah peristiwa yang sangat dekat dengan hidup. Kematian ibarat dua sisi dari sebuah koin. Keduanya memiliki peluang yang sama bertemu dengan kita. Maka kesadaraan akan itu mengingatkan kita untuk selalu berhati-hati dan tidak lalai dalam hidup ini. Kelima, kematian adalah peristiwa yang pasti dan sekaligus tidak pasti. Ketidakmenentuan kapan waktu terjadinya, seringkali membuat kita hidup dalam mentalis mumpungis (selagi masih hidup) dan mengulur-ulur waktu dan kesempatan. Sikap ini sebenarnya tidak menceburkan kita kepada kedalaman dan keberartian hidup. Seharusnya, setiap saat hidup adalah moment untuk mengisi dan menyempurnakan hidup.




Sebuah Kata Akhir
Kematian itu keniscayaan yang bisa mematikan dan menghidupkan. Kematian itu mematikan ketika kita tidak mengenal dan memahaminya lantas menjadikannya menjadi sosok asing. Menghidupkan manakala kita menggaulinya, merenunginya dan menjadikannya sebagai bagian dari hidup. Untuk itu :

“Izinkan aku berdoa bukan agar terhindar dari bahaya melainkan agar aku tiada takut menghadapinya. Izinkan aku memohon bukan agar penderitaanku hilang melainkan agar hatiku teguh menghadapinya. Izinkan aku tidak mencari sekutu dalam medan perjuangan hidupku, melainkan memperoleh kekuatan sendiri. Izinkan aku tidak membenam diri dalam ketakutan dan kegelisahan untuk diselamatkan melainkan harapan akan kesabaran untuk memenangkan kebebasaanku. Berkati aku sehingga aku tidak menjadi pengecut, dengan merasakan kemudahanMu dalam keberhasilanku semata melainkan biarkan aku menemukan gengaman tanganMu dalam kegagalanku.”[22]...







[1] Makalah disadur bebas dari bab II dan V paper II FF, Universitas Katolik Parahyangan. Judul semula adalah Makna Kematian Menurut John Hick. Catatan kaki dan judul bagian per bagian telah disederhanakan. Aslinya bisa juga diakses dalam http. //www.subscript.com

[2] Empat lirik sajak berjudul Aroma Maut itu ditulis 27 tahun silam oleh Hamid Jabbar. Lelaki 'mungil' kelahiran Koto Gadang, Bukit Tinggi, Sumatra Barat, 25 Juli 1949, itu menghembuskan ujung napasnya pada Sabtu malam (29/5) saat acara Dies Natalis Univeritas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, percis ketika dia membacakan puisi yang dikutip diatas.

[3] Bdk, John HIck, Death And Eternal Life, Collins Fount Paperbacks, 1976, Hlm. 97

[4] (Al-Jum'ah: 8) sebagaimana dikutipKomaruddin Hidayat dalam Psikologi Kematian, Bandung: Mizan, hlm.16.

[5] Bdk.Hans Kung, Eternal Life, New York: Colluns Publishers, London and Company, pp.33-34.

[6] Dalam dunia iptek kiwari, kematian dibagi menjadi dua fase, pertama, Somatic death, kematian yang ditandai ketidakberfungsian tanda-tanda kehidupan seperti denyut jantung, gerak pernafasan, suhu badan yang menurun dan tidak adanya aktifitas listrik otak pada rekaman EEG. Dalam waktu dua jam akan diikuti, kedua, Biologic death, yang ditandai kematian sel. Kurun waktu dua jam diantaranya dikenal sebagai fase mati suri.

[7] Lihat Mark Rowlands, Menikmati Filsafat Melalui Filam Science-Fiction, Bandung : Mizan, hal.215-216. bdk. Juga buku yang kamu pinjam dari perus dnelll

[8] ibid. hal. 227-228

[9] ibid. hal.225

[10] lihat H. Tedjo Bawono, “Sebuah Catatan Harian Tak Bertuan” dalam Melintas (vol.21), Bandung: Parahyangan Catholik University

[11] John Hick, Death And Eternal Life, ibid, pp. 97.

[12] semua ungkapan Ibn Maskawaih ini dikutip oleh Achmad Charris Zubair, dalam “Pengantar Refleksi Tentang Kematian”, dalam Louis Leahy, SJ, Misteri Kematian : Suatu Pendekatan Filosofis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998. Hal.XIII.

[13] dalam bukunya Tahdzibul Akhlag wa Tathhirul A’raq, seperti dikutip dikutipKomaruddin Hidayat dalam Psikologi Kematian, Bandung: Mizan, hlm.19.

[14] Lih. Achmad Charish Zubair, ibid.,hal. X .

[15] Komaruddin Hidayat, Psikologi Kematian, Bandung: Mizan, hal. xiii-xviii

[16] Dalam bukunya, The Courage to Be (1952), Tillic menuliskan : “ Courage is the self-affirmation of being in spite of thefact of non-being. Itis in the act of the individual self in taking the anxiety of non-being upon it self…Courage needs the power of being, a power trancending the non-being which is expeienced by non-being…Caourage needs the power of being, a power trancending the non-being which is experienced in anxiety of fate an death,….in the anxiety of emtiness and meaninglessness,…[and] n the anxiety of guilt and condemnation. The courage which takes this threefold anxiety into itself must be rooted in a power of being that is greater than the power of oneself and the power of ons’s worl…There ane no exceptiona ti this rule; and this means that every caurage to be has openly or covertltly a relogius root. For religion is the state of being grasped by the power of being it self. (152-153)

[17] Bdk. Fiktor Prankel, dalam Logoterapinya itu…

[18] Lih. Sukie Miller dan Suzanne Lipsett, After Death, (terj. Marina Katherin) Mitra Media Publisher , (1997) hal.xvi

[19] Tesis John Hick: “hidup ini biasa dipahami dan masuk akal bila menerima adanya fakta kematian. Kematian bukanlah segala-galanya tanpa kelanjutan. Lihat. John Hick, “The Doctrine Of The Resurection Of The Body Reconsidered”, dalam Body, Mind, and Death, New York: Macmillan Publishing Co., Inc. p. 273

[20] Perihal eternal life bukanlah tanpa dasar. Pemahaman John Hick, tentang eternal life ternyata dikukuhkan juga oleh sistem kepercayaan yang ada dalam setiap suku bangsa di dunia. Mulai dari yang paling primitif sampai yang paling modern memperlihatkan bahwa kematian hanyalah awal menuju kehidupan yang lain.Ternyata ada kepercayaan di mana-mana tentang kesementaraan kematian. Tentu saja pemaparan komprehensif perihal itu tidak mungkin disempalkan dalam paper singkat ini. Sebagai telaah lanjut bisa dirujuk buku...cari lagi di persus nel, buku baru dari Macmilan tuhh...

[21] lih. Dr.Hardono Hadi, P, Jati Diri Manusia, Yogyakarta : Kanisius, hlm. 178

[22] Sebuah untaian puisi Rabinranatth Tagore dalam kumpulan puisinya “Fruith-Gathering” seperti dikutip oleh Elisabeth Kubler – Ross dalam On Death And Dying, (ter.Wanti Anugrahani), Jakarta: PT.Gramedia, 1998, hal.1.

0 komentar:

Posting Komentar