Web Toolbar by Wibiya

Jumat, 26 Februari 2010

Konflik dan Agresi

Rasa-rasanya sudah semakin biasa kita menyaksikan perilaku agresi massa. Menurut definisinya, seperti ditulis Danelson R. Forsyth (Social Psychology: 1987), perilaku massa dapat disebut agresi (penyerangan) apabila sudah menimbulkan kerugian atau kerusakan bagi orang lain melalui cara-cara yang memang sudah diniatkan. Bahasa yang kerap dipakai di media-media kita adalah ”amuk massa”. Jika mengamati pemberitaan media sejak Reformasi, massa di kita sepertinya mudah sekali mengamuk. Sebab-sebabnya ada yang riil, misalnya penggusuran oleh pemerintah, eksekusi lahan yang sudah ditempati bertahun-tahun, atau pengadilan yang tidak adil menurut persepsi pihak-pihak tertentu.
Ada lagi yang karena interpretasi, terlepas itu salah atau benar. Ini bisa kita lihat betapa seringnya rumah makan asing atau tempat yang dikonotasikan berasal dari asing yang menjadi sasaran amuk massa, seperti yang terjadi di Sulawesi. Massa yang semula ingin demo antikorupsi, tetapi kemudian berubah menjadi amuk sehingga merusak rumah makan.
Ada juga yang karena reaksi emosional spontan, seperti perilaku yang langsung muncul, seperti yang terjadi di salah satu sekolah tinggi di Indonesia Timur baru-baru ini. Sekelompok mahasiswa yang ingin mendemo kebijakan rektornya tiba-tiba menjadi amuk massa karena ada salah seorang mahasiswa yang bentrok dengan personil keamanan di kampus itu. Bahkan ada yang karena kekesalan semata, yang tidak jelas kesal sama siapa. Kalau dicari-cari pembenarnya, tentu yang paling enak adalah kesal dengan pemerintah. Misalnya rekrutmen pegawai negeri yang harus ngantri panjang, lalu karena persoalan kecil yang sepele, massa kemudian mengamuk di kantor pemerintah itu.
Jika meminjam istilah para ahli psikologi, agresi massa di kita sudah sampai pada tingkat yang pantas disebut gejala de-individuasi massa (mass deindividuation) atau massa yang telah kehilangan kesadaran identitas dirinya. Anggota dewan yang terhormat bisa mengamuk, para guru bisa mengamuk, para mahasiswa bisa mengamuk. Mengamuk bukan lagi label untuk pekerja kasar yang sekolahnya rendah, hidupnya susah, dan status sosialnya marjinal.

Konflik Diri & Agresi
Seperti yang sudah sering kita bahas di sini, konflik diri adalah keadaan dis-harmony yang terjadi di dalam diri seseorang. Bisa karena gap antara harapan dan kenyataan, antara keinginan dan paksaan, atau antara idealita dan realita. Intinya, konflik-diri timbul dari dua sebab yang sangat sinergis, yaitu ketidakmampuan internal (penentu) dan kondisi eksternal (pemicu).
Sebagian keadaan yang diizinkan Tuhan untuk terjadi, tentu konflik itu memiliki kegunaan. Soal kita gunakan untuk yang positif atau yang negatif, ini kita yang dipersilahkan untuk memilih. Jika kita berhasil memilih penggunaan yang positif, hasilnya berupa dinamika, kemajuan, dan pencapaian. Bayangkan kalau kita tidak dikasih konflik diri? Pasti dinamika tidak ada. Ilmu pengetahuan dan teknologi terhenti perkembangannya. Industri pun akan mati.
Tapi jika kita memilih membiarkan, mengabaikan, atau melampiaskannya dalam kemarahan, entah terhadap diri sendiri, orang lain, atau keadaan, maka tidak menutup kemungkinan konflik itu dapat membangun rentetan gangguan, dari mulai stress, depresi, sampai ke disorder (kekacauan sistemik dalam jiwa). Ibarat mesin, gangguan itu merupakan kotoran yang menganggu kinerja atau bisa merusaknya. Jika menelaah paparan para ahli mengenai apa saja gejala buruk dari gangguan jiwa itu, maka secara globalnya bisa disimpulkan dua hal berikut, yang variannya bermacam-macam:

*
Membuat orang menjadi terlalu pasif: acuh tak acuh, memendam kebencian dan kedendaman, antisosial, tak peduli tarhadap rangsangan positif, suka mengkhayalkan datangnya keajaiban tanpa usaha, dan seterusnya
*
Membuat orang terlalu agresif: komunikasinya mengancam, keputusannya ngawur, mudah tersulut untuk melakukan tindakan di luar batas, egonya terlalu tinggi, dan seterusnya.

Jika itu terjadi hanya pada satu orang, karena ada pemicu riilnya, dan sifatnya temporer (reaktif sesaat), tentu masih dapat dikontrol. Tapi jika itu sudah meng-umum, dipicu oleh sketsa yang sudah kacau, dan berlangsung lama (membudaya di masyarakat), maka peradaban sebuah bangsa akan terancam. Akan semakin banyak orang Indonesia yang malu untuk mengatakan bangsa kita suka damai, tenang, dan toleran, karena faktanya tidak begitu.
Pada titik inilah kita punya landasan yang bisa menjembatani rententan kesimpulan bahwa konflik-diri itu memiliki keterkaitan dengan seringnya terjadi agresi massa di kita. Bahwa ada keterkaitan yang nantinya disebut causatif (sebab langsung) atau correlative (sebab tidak langsung), ini mungkin bisa dibedakan berdasarkan keadaan dan kasus.

Teori di Balik Agresi
Di tahun 2000, saya dilibatkan dalam tim untuk mengundang pelamar yang akan diseleksi untuk mengisi beberapa lowongan kerja di kapal pesiar di Eropa. Mereka yang minimal berpendidikan D3, berpengalaman di bidangnya, bisa berbahasa asing minimal Inggris, dan seterusnya, kita undang lewat koran, yang tentunya suka rela dan free.
Karena harus diseleksi tingkat elektabilitasnya, emploibilitasnya, dan dokumennya, maka mau tak mau harus ngantri sesuai dengan urutan dan posisi yang ingin dilamar. Tak lama setelah antrian berjalan, tiba-tiba ada sekelompok orang yang bikin gaduh dengan membawa protes agresif yang isinya kira-kira begini: ”Pak, saya ke sini ini sudah ijin kerja, tidak bisa saya nunggu lama-lama di sini, saya harus diseleksi sekarang, pokoknya!” Tentu protesnya tidak bisa dipenuhi karena proses seleksi harus berjalan sesuai dengan antrian. Kawan saya yang berusaha ”memasukkan ke hati” mengatakan protes semacam itu tidak waras. ”Kita tidak mau asal terima orang, kita mengundangnya suka rela, kenapa mereka memaksa?”, dan masih panjang lagi komentarnya.
Setelah kita sering melihat sidang DPR ditayangkan langsung di TV, ternyata protes agresif semacam itu kita jumpai juga di sidang yang terhormat. Untuk urusan jam makan, waktu sholat, atau interupsi, orang bisa berdebat panjang lebar hingga terlontar kata-kata yang sudah keluar konteks. Padahal, di sidang yang terhormat itu pasti sudah ada aturan bakunya.
Pertanyaannya, sudah pantaskah kita menyebut protes agresif itu sebagai perilaku yang tidak logis? Jika kita hanya melihat tindakannya semata, mungkin saja orang bisa mengatakan kurang logis, tetapi kalau dilihat apa yang melatarbelakanginya, mungkin saja itu akibat kausatif yang wajar, alias memang seperti itu konsekuensi yang harus diterima. Kalau membaca teori-teori yang membahas agresi sosial, sedikitnya ada dua sumber yang bisa menjelaskan kenapa massa itu mudah agresif, yaitu:

1. Pertama, learned mass agression—materinya sudah diproses lama dalam jiwa sejumlah individu yang disebut massa. Ini misalnya orang sudah berpikir kalau tidak pakai kekerasan, usaha untuk didengar akan gagal, sudah lama ditekan sehingga saatnya memuntahkannya, pelampiasan kekecewaan, tayangan, dst.
2. Kedua, unlearned mass agression—terjadi secara spontan karena ikut-ikutan, karena naluri untuk mempertahankan diri atau untuk menciptakan keamanan, misalnya diserang oleh kelompok, dihakimi secara tidak adil, menjumpai maling yang tertangkap basah, dst.

Dari yang bisa kita amati terhadap agresi massa yang kerap terjadi, ada banyak bukti yang bisa untuk mengatakan bahwa the unlearned mass agression tidak terlalu berperan banyak dalam meng-anjlok-kan kualitas peradaban sebuah bangsa. Di banyak kasus, agresi ini tidak memiliki sebab-sebab yang berantai dan secara umum masih terbilang manusiawi, meski tidak bisa dibenarkan. Tapi, untuk yang the learned mass agression, ini kerapkali sudah ruwet karena ada dua pihak yang telah sama-sama membangun sebab-sebab berantai. Misalnya tayangan televisi. Secara sepihak, kita bisa mengatakan stasiun TV-nya yang salah, kenapa agresi ditampilkan. Tapi, kalau melihat alasan dari pihak stasiun TV-nya, mungkin bukan itu logikanya.
Logika yang sering dipakai dunia industri, termasuk media televisi, adalah karena masyarakat kita menikmati tayangan sensasi dan ini terkait dengan rating. Rating itu ada kaitannya dengan iklan, dan iklan itu terkait dengan hidup-matinya stasiun TV. Apakah kita mau kembali ke model TVRI tempo doeloe? Ini hanya contoh yang sepele.

Pendidikan Berorientasi Kematangan
Sama sekali bukan sebuah harapan yang tepat untuk mengandalkan lembaga pendidikan agar dapat berperan full mengatasi agresi massa. Pendidikan punya masalah internal dan eksternal. Pendidikan sudah berbuat banyak, meski hasilnya belum banyak.Tapi, kira-kira, hanya kepada pendidikanlah kita bisa lebih banyak berharap. Mau kita mengharapkan keluarga atau masyarakat, kini sudah semakin banyak orangtua yang harus bekerja di luar rumah, bukan untuk kaya, tetapi untuk sekedar survive mengimbangi semakin tidak berdayanya penghasilan rupiah dengan inflasi, serbuan barang konsumsi, dan budaya serba uang.
Dilihat dari apa yang masih bisa dilakukan oleh pendidikan terkait dengan agresi, maka salah satu yang penting adalah menjalankan proses pendidikan yang berorientasi pada kematangan jiwa (mental dan moral skill), bukan semata job / academic skill. Ini antara lain dapat ditempuh dengan menanamkan sikap yang co-operative dan mekanisme kreatif dalam menyikapi perbedaan yang sudah tidak bisa disamakan atau dalam mengelola gap.
Sebagai contoh, sampai nanti kiamat, agama Tuhan di bumi ini tidak satu dan berbeda luarnya, meski esensinya sama. Jika kita masih menanamkan sikap konfrontatif agar agama itu harus satu dan sama, berarti kita telah menitipkan kebencian dan mengajarkan mekanisme yang depresif pada generasi. Sudah nyari kerjaan susah, masih juga kita bebani untuk saling membenci.
Selain perlu ada nilai yang mendasari sikap co-operative dan mekanisme kreatif itu, perlu juga metode pengajaran yang meng-explore, bukan men-depresi, memberi tantangan, bukan memberi tekanan. Misalnya, untuk supaya bisa dibilang hebat oleh wali murid, kita menggenjot siswa dengan PR atau ekstrakurikuler yang tidak kita barengi dengan upaya mematangkan mentalnya. Siswa menderita stress kerja karena incompatible antara kematangan dan pekerjaaan.Yang juga sangat penting adalah kualitas attachment antara guru dan murid. Hubungan guru dan murid akan kering apabila hanya didasari transaksi, profesi, atau materi. Perlu hubungan yang didasari oleh nilai, kedekatan personal yang sangat human sehingga memunculkan secure attachment, kedekatan yang memberi support dan comfort.
Hasil riset psikologi, seperti dikutip Judith R. Harris (The Child: 1991), memberikan petunjuk, anak yang kurang mendapat secure attachment dari orang dewasa di sekitarnya akan cenderung agresif, kurang kompeten dalam menghadapi kemalangan, auranya kurang periang, gampang ngamuk menyikapi perbedaan. Mungkin, sekolah yang kultur dan iklimnya kurang bersahabat, dapat memicu gaya hidup siswa yang agresif juga.

Melihat Berbagai Dimensi
Agresi massa yang kata pengamat semakin cenderung meningkat di kita, sepertinya tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi dan dimensi. Bagi negara, ini harus dilihat sebagai koreksi, kenapa bangsa saya gampang ngamuk dan mudah disuruh bunuh diri dengan iming-iming surga? Bagi masyarakat, tekanan eksternal harus kita sikapi dengan meningkatkan mekanisme internal supaya lebih tertantang untuk maju, bukan selalu memuntahkannya keluar. Semoga bisa kita jalankan.

Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 01 Februari 2010
www.E-Psikologi.com

0 komentar:

Posting Komentar