BANYAK orang tua berpendapat bahwa hanya bakatlah yang menentukan semua kreativitas pada anak, lebih-lebih di dalam bidang karya seni atau dalam keterampilan tertentu. Pendapat ini tentu beralasan.
Ambillah contoh, tanpa diperintahkan si anak sering melukis sesuatu dalam berbagai media, diawali mencorat-coret dinding kemudian melukis di kertas gambar. Dalam bidang tarik suara, misalnya, hanya dilatih sedikit saja si anak sudah dapat melantumkan tembang/lagu yang enak didengar. Bahkan, tanpa dilatihkan mereka melakukan kreativitas sendiri. Tegasnya, antara bakat dan hobi si anak saling mendukung.
Seorang anak tentu akan terus berkembang baik fisik maupun mentalnya. Sejalan dengan perkembangan fisik anak, daya imajinasinya pun berkembang menuju ke arah pendewasaan. Perkembangan fisik sangat ditentukan oleh gizi makanan, cara (pola) hidup di dalam keluarga, dan kondisi lingkungan tempat tinggal anak. Sedangkan perkembangan kreativitas imajinasi—apakah ke arah posisif atau negatif—anak sangat ditentukan oleh pola asuh, pendidikan dalam keluarga dan lingkungan sekitar anak, di samping bakat anak itu sendiri.
Pengembangan kreativitas imajinatif tentulah bukan sebatas karya seni. Kreativitas imajinasi juga mencakup kreativitas kecerdasan atau keterampilan yang lain. Seorang anak menjalankan mobil-mobilan dengan suara yang menderu-deru tentu termasuk imajinasi yang kreatif. Kemudian di gundukan pasir ia membuat replika jalan raya untuk tempat berlalu-lintasnya mobil-mobilan miliknya. Pada kesempatan lain ia membuat senapan dari dari pelepah daun pisang untuk dipakai perang-perangan. Seorang anak perempuan memotong kertas untuk dijadikan uang-uangan dalam kreativitas imajinasi dalam dagang-dagangan. Jelaslah semua kreaktivitas tersebut mengarah kepada pembentukan karakter secara posisitf sebagai manusia yang punya kreativitas.
Kondisinya sering berbeda, bahkan berbalik setelah anak menginjak usia remaja. Remaja laki-laki, sepeda motornya dipreteli kemudian digantikan dengan sesuatu yang bagi masyarakat umum, khususnya kalangan tua, sangat mengganggu ketertiban. Kreatvitasnya sudah mengarak ke hal yang kurang positif. Permasalahannya, mengapa kreativitas anak banyak yang tidak berlanjut ke arah yang positif menjelang usia remaja?
Tentu ada yang salah dalam pendidikan atau pola asuh terhadap anak. Ambillah contoh sederhana pada mainan anak. Tampaknya ada hubungan antara mainan buatan anak sendiri dengan mainan-jadi yang mudah dibeli. Sebab, zaman sekarang sebagian besar mainan anak adalah produk barang jadi yang dapat dibeli dan kebanyakan barang impor. Begitu mudahnya didapat mainan anak sehingga orang tua tidak merasa perlu mengarahkan si anak untuk membuat sendiri. Anak pun senang dibelikan mainan saat melihat ada main yang menarik perhatiannya di dagang/toko mainan.
Proses
Setelah anak bosan dengan mainan yang dibelikan itu, si anak akan memreteli mainannya itu sesuka hatinya, mungkin dengan maksud dibelikan lagi mainan yang baru. Ia tidak tahu apakah mainannya itu harganya mahal atau murah. Ia ingin mainan yang lain dan akan dibelikan. Setelah bosan dicopot atau dipreteli bagian-bagiannya. Jika sudah dicopot sana-sini barang mainan itu, boleh dikatakan si anak tidak ada hubungan batin dengan mainan yang harganya mahal itu.
Akan berbeda halnya jika mainan itu dibuatnya sendiri. Sampai mainan itu siap digunakan tentu memerlukan proses yang panjang. Mula-mula anak berpikir mainan apa yang akan dibuat, kemudian mulai mengumpulkan bahan. Berikutnya melangkah kepada proses pembuatan sampai siap digunakan. Kalau ia berhasil menyelesaikan mainan yang dibuatnya sendiri tentu mainannya itu akan menjadi barang kebanggaannya. Dalam pikirannya, “Saya mampu membuat mainan”. Siapa yang tidak senang dan sayang kepada barang buatannya sendiri? Hal itu akan menjadi kebanggan tersendiri. Hampir tidak ada anak yang merusak barang kebanggaannya. Kalau sianak sudah terpola memiliki sesuatu dengan proses, maka dapat dipastikan ia akan tumbuh menjadi orang yang punya rasa sayang dan penuh dengan rasa tanggung jawab.
Anak pun ingin menjadi bagian dari lingkungannya. Kalau ia melihat orang dewasa membuat ogoh-ogoh, misalnya, ia akan berkreatvitas dalam imajinasinya seperti orang dewasa itu. Mereka pun mulai bekerjasa sama dengan teman-temanya mencari sesuatu untuk membuat ogoh-ogoh. Anak-anak akan mengambil pisau, mencari bahan-bahan yang mudah didapat untuk membuat ogoh-ogoh. Jika ogoh-ogoh sudah selesai, mereka mengusungnya berkeliling rumah atau tetangga sekitarnya. Gambelannya pun digunakan dari apa saja yang didapat untuk bisa ditabuh dengan irama mereka. Dari sisi pembelajaran pembentukan karakter untuk memupuk kerja sama, si anak tidak akanbanyak membutuhkan bantuan pembelajaran dari orang tua. Pembelajaran mereka semuanya berawal dari kreativitas imajinasi. Kreativitas imajinasi anak tidak saja menumbuhkembangkan kecerdasan motorik, melainkan juga membangun karakter untuk belajar bekerja sama.
Dalam tumbuh-kembangnya kreativitas anak, sikap orang tua kadang menjadi penghambat pengembangan kreativitas. Menurut George Prasetya Tembong (2006), beberapa sikap orang tua yang dapat menghambat kreativitas anak. (1) Orang tua yang suka mengancam jika anak berbuat salah, gagal melakukan sesuatu. Ancaman ini akan membuat anak merasa tertekan untuk melakukan sesuatu yang yang baru. (2) Orang tua yang otoriter, yakni semua keputusan ditentukan oleh orang tua. Anak tidak boleh beda pendapat apalagi tidak setuju dengan keputusan orang tua. (3) Orang tua yang tidak toleran, yakni melarang anaknya bermain atau bergaul dengan anak dari keluarga yang berbeda paham, keyakinan, status sosialnya berbeda. (4) Orang tua yang terlalu ketat mengawasi anak sehingga sedikit-sedikit memberikan kritik yang kurang membangun. Dari pendapat Tembong ini, bukan berarti bahwa orang tua harus longgar dalam mengawasi anak. Di sini diperlukan komunikasi yang bijak antara orang tua dan anak.
Mirip dengan perilaku orang tua yang menjadi penghambat kreativitas imajinasi anak, di sekolah juga demikian. Guru terlalu mudah memberi ancaman kepada siswa, bersikap otoriter, memberi hukuman yang tidak mendidik, dan beberapa sikap yang kurang mendidik sering menghambat kreativitas anak. Misalnya, seorang anak yang berbeda pendapat dengan guru bukannya dipuji oleh guru sebagai suatu kreavitas berpikir, melainkan mendapat ancaman dan diberi label “anak kurang ajar”. Si anak dituduh kurang sopan kepada guru padahal kesalahan anak hanya pada penggunaan bahasa dalam menyampaikan perbedaan pendapat itu kepada gurunya. Sesungguhnya, tidak ada maksud anak kurang sopan kepada gurunya. Akhirnya, si anak mengalah membiarkan guru menang sendiri. Si anak takut kalau gara-gara berani beda pendapat dengan gurunya berakibat kepada nilai yang kurang baik diberikan dalam rapor.
Peran orang tua di rumah dan guru di sekolah, juga lingkungan, sangat menentukan tumbuh kembangnya kreativitas imajinasi anak ke arah yang positif. Dalam aktivitas pembelajaran, seorang anak tentu saja akan mengalami kesalahan dan kekeliruan. Yang baik dalam pendidikan itu tentu kesalahan si anak tidak mendapat cemoohan, melainkan dijadikan pengalaman yang berharga agar tidak terulang lagi di samping memberikan semangat, "Kamu pasti bisa".
IGK Tribana
http://www.balipost.co.id
0 komentar:
Posting Komentar