Intro
Pandangan antroposentrisme yang ditawarkan disini adalah kisah lanjut interpretasi atas
Kitab kejadian 1: 28. Argumennya dasarnya, kerusakan lingkungan hidup disebabkan oleh kuasa (daya takhluk manusia atas ciptaan lainya). Kuasa manusia tampak dalam persfektif teologis tentu saja filosofis. Antroposentrisme : menempatkan manusia sebagai pusat, entah fisk, spiritual,maupun etis. Manusia dalam dirinya mempunyai nilai etis-intrisnsik, yang lain tidak. Ciptaan nonmanusiawi dinilai karena kegunaannya sebagai alat bagi mansia (instrumental value).Berangkat dari pandangan ini, tumbuh-tumbuhan dan hewan memiliki nilai karenamempunai fungsi ekonomis bagi manusia. Ciptaan bernilai sejauh berhubungan dengan manusia. Manusia menjadi ukuran nilai bagi benda-benda disekitarnya.
Manusia Sebagai Pusat : sebuah pemaparan teologis
Bonaventura menandaskan bahwa didalam kodratnya, setiap ciptaan merupakan keserupaan dengan kebijaksaanaan abadi: every creature is of its very nature a likeness and resemblance to eternal wisdom. Ciptaan merupakan tanda pewahyuan Allah. (sakramen Allah). Tetapi ada yang unik, itulah manusia. Manusia diciptakan serupa (secitra) dengan Allah penciptaanya. Manusia itu memiliki budi, kehendak, imaginasi, dan akal. Manusia itu adalah animale rationale (Aristoteles). Bukan hanya itu. Manusia memliliki intuisi yang melampaui pengetahan rationalnya. Intuisi memampukan manusia berkontak langsung dengan Allah, kapan saja. Itu semua sebabnya manusia biasa dilabel sebagai citra Allah..
Lebih lanjut, Ian Barbour pun menyadari keunikan manusia dihadapan ciptaan lainnya. Manusia diciptakan seturut gambar dan keserupaan Allah. Sebagai citra, manusia memiliki kesadaran dalam dirinya. Oleh karena itu, hanya dialah yang mampu mempertanggungjawabkan hidupnya kepada Allah dan hanya dia pulalah yang merupakan agen moral yang bebas yang dapat menanggapi tuntutan kebajikan dan keadilan. Kecitraan Allah dalam diri manusia memiliki implkasi bahwa kehidupan Allah sewaktu-waktu dapat direduksi pada taraf duniawi, khususnya pengalaman manusia. Efek sampingnya, manusia berkecendrungan menafsirkan dirinya sebagai insan yang berkuasa, dominasi atas yang lain dan bukan berdomisili diantara lainnya. Dalam mengatur hubungan dirinya dengan alam, sesama, dia pula yang menentukan sikap etis. Usaha perdamaian dengan Allah dan pergaulan dengan alam seringkali di didominasi\ di kolusi pihak manusia sendiri, bukannya merawat alam tetapi demi kepentingan (keselamatan) manusia dan anak cucunya. Keunikan dan kelebihan martabatnya sangat biasa digunakan sebagai elevasi dan dominasi atas ciptaan lainya.
Implikasi lanjut, dalam beraksi (actio) manusia lazimnya berangkat dari pusat dirinya yang memiliki kemauan, kesadaran, dan kebebasan. Singkatnya manusialah yang paling berkesadaran. Itulah pasalnya, mengapa manusia selalu bertendensi bahwa dia lah yang mampu berinisiatif diantara mahluk lainnya. Berangkat dari pusat dirinya, manusia memang harus keluar dari dirnya untuk menyalurkan dirinya, yang sangat mungkin dimotivasi oleh kepentingannya sendiri. Dalam relasi dengan sesamanya, ia menciptakan kategori-kategori yang konstitutif. Selanjutnya, nilai-nilai instruksi yang terdapat dalam semua ciptaan tak lain adalah kreasi\persepsi manusia belaka. Tentu saja, kelestarian atau kerusakan ekologi/ ciptaan lainnya dibawah kendali manusia.
Primas Spesies Manusia
Manusia adalah spesies yang berbeda dengan spesies lainnya. Adakah sesuatu yang istimewa mengenai species manusia? Pertama-tama manusia adalah species yang memiliki rasio, rasa, imaginasi yang sama sekali tidak ditemukan pada species yagn lain. Manusia adalah species yang terus menerus mencipta lingkungan baru untuk dirinya (dan species lain). Lingkungan yang diciptakan itu bermacam-macam: inglo, kapat terbang, toserba, perladangan, pabrik, gereja dll. Mereka juga menciptakan lingkungan yang tidak mereka diami: ranjau darat, kawasan pencobaan nuklir. Demikian juga ada bermacam-macam lingkungan sosial dan moral (lingkungan yang memusuhi individu atau kelompok, bahkan species sendiri). Manusia sebagai species, termasuk semua jenis binatang, diatas bumi ini secara instingtif menyukai spcies mereka sendiri, tinggal bersama dalam kelompok. Preferensi pada species ini bersifat kodrati dan berharga, diperlukan untuk kelangsungan hidup. Jika preferensi ini hilang, maka kemanusiaan akan hilang. Ada satu yang penting lagi perihal species manusia. Berteori merupakan kegiatan manusia. (konsekuensialisme: nilai bertalian dengan akibat perbuatan saja, juga personisme: manusia menghubungkan nilai dengan intelek, memori, dan kesadaran, tidak dengan yang lainnya). Seorang pelaku moral adalah manusia dan sebagai manusia ia hidup di dunia nilai.
Lingkungan dibawah dominasi manusia
Bumi kita kini sedang mengalami fase krisis . Banyak tuduhan yang ditujukan kepada manusia. Manusia disebut sebagai penghancur alam, mahluk bumi yang jahat dan perusak. Manusia menjadi arogan karena ide biblis kristiani tentang dominion, dominasi. Itu memuncak pada abad 16-17. Abad 16-17, dikenal dengan kebangkitan rasionalitas. Rasionalitas diagungkan dengan pola pikir analitis reduktionis. Dengan pola pikir analitis reduktionis, manusia berusaha memilah kenyataaan menjadi bagian-bagian. Clara et distictio, kata Descartes. Realitas berusaha dipahami dengan mengandaikan kemampuan rasio. Fakta perkembangan nilai kebenaran alam hendak dicapai mutlak melalui pengetahuan ilmiah manusia. Alam hendak diterangkan seobyek mungkin dengan menelusuri apa substansinya, bagimana sebab musababnya, cara kerjanya. Alam direduksi sebagai materi yang bisu dan mati, statis yang bisa diukur dan ditaklukkan dengan hukum matematika. Bila hukum matematika diketahui maka dengan sendirinya alam dapat dikuasai. Ada dua realitas, res extensa dan res cogitans, yang sangat bisa mempertuan manusia untuk melakukan ekspltoitasi alam yang tidak rational dan bisu itu. Bagi Bacon, tujuan utama sains bukan untuk mengetahui tetapi untuk mengontrol. Pengetahuan merupakan kekuatan untuk mengubah alam dan mengkontruksi materi. Kekuatan atas alam merupakan kekuatan utama manusia melalui matematis dengan sains. Lebih dahsyat, seluruh dunia direduksi menanjadi sebatas mesin, demikian pendapat Gallileo. baginya Prinsip kerja alam bergerak seperti sebuah jam tangan.
Jose Antonio Lutzenberger, mantan menteri lingkngan Brazil, pernah mengatakan sebagai berikut; masryarakat industrial modern bagaikan suatu agama fanatik, yang sedang menghancurkan, meracuni, membinasakan seluruh sistem kehidupan diatas planet. Masyarakat modern bagaikan suatu perayaan tentang sebuah peradaban yang mengangungkan kehidupan. Namun pada kenyataannya, menguras habis kehidupan sehingga tak mempunyai arti apapun. Masyarakat modern terus saja berbicara tentang usaha-usaha agar manusia bahagia. Akan tetapi nyatanya justru menghalangi perjalananan manusia menuju sumber kedamaian dan kehahagiaan sejati.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa setelah perang dingin selesai kita menghadapi suatu aliran agama baru yaitu kapitalisme dan materialisme yang didukung oleh uang dan kekuasaan. Inti permasalahan yang sebenarnya adalah pemujaan terhadap materi telah membawa kehidupan manusia kedalam konsumerisme (kapitalisme), dan sumber daya alam dikeruk secara besar-besaran yang seringkali terlepas dari pertimbangan spiritual. Akibatnya, lingkungan menghadapi kehancuran yang lebih besar. Kemudian yang tampak adalah sisi suram kehidupan sebagai ketidakseimbangan (dalam skala lokal pun global).
Sikap Manusia terhadap Lingkungan
Ada dua kecenrungan dalam kepercayaan akan perlunya sikap etis terhadap ciptaan yang lain. Kelompok yang satu, kelompok yang ekstrem, manusia tidak mempunyai kewajiban moral apapun juga terhadap ciptaan yang lain (anggota species yang lain). Orang-orang seperti R. Descartes, B. Spinoza, percaya (tentu saja keliru) bahwa binatang, pun tumbuh-tumbhan merupakan mesin-mesin yang tak berperasaan. Pendapat ini ditolak oleh Leibnisz, Voltaire,dan Kant. Pada abad 19 dan 20 banyak ilmuwan yang mempunyai pandangan ekstrem terhadap tumbuhan, terutama binatang, bisa dimengerti sebab riset-riset mereka banyak melibatkan pencobaan binatang. Kelompok ekstrem yang lain, sebagai mana dinyatakan oleh Peter singer,” semua binatang sama saja... pembela kebebasan untuk orang kuli hitam dan wanita harus membela kebebasan untuk binatang juga.” Singer sungguh-sungguh dalam slogannya, dengan memperlihatkan bahwa spesiesisme seperti juga rasisne dan sekdisme merupakan hal yang buruk. Sebagai seorong personnis ia menolak gagasan hidup manusai (atau hidup apapun) mempunyai nilai intrinsik: sebagai pembela kebebasan binatang, ia bersikeras bahwa hidup manusia tidak harus dihargai lebih hidup, katakanlah, ikan lumba-lumba dan simpanse. Kepercayaannya mengapa hidup manusia tidak harus lebih dihargai daripada hidup makhluk-makluk lain merupakan satu alasan mengapa ia mendukung legalisasi pembunuihan bayi dan eutanasia.
Note :
Dewasa ini ada kecenderungan bila berbicara tentng krisis ekolog, orang akan berpaling kepada kitab suci (sesuai dengan ajaran masing-masing). Di sini sebenarnya ada jarak yang jauh diantara dunia dilahirkannya kitab suci masing-masing agama dengan zaman sekarang yang kental dengan krisis ekologi. Ini sebenarnya pendekatan yang sulit. Terlepas dari doktrin tentang lahirnya kitab suci masing-masing agama, penafsiran atas kitab suci masing-masing bukan saja telah menopang dan menimbulkan sekularisasi atau desakralisasi alam. Desaklaslisasi terhadap alam meruapakan salah satu sumbre dari kerusaakan lingkungan , dan membrikan kesempatan kepadan kesombobgan manusia. Selain itu, ada pendapat mengatakan bahwa dominasi kultur maskuli pun telah turut menciptakan krisisi ekologi.
Ada paradigma di era industri yang telah yang menyeret manusia kepada degradasi lingkungan, pengurasan sumber alam, hilangnya makna hidup, distribusi tidak merata, serta tidak terkendalinya teknologi yang tidak efektif. Diantaranya :1. harapan ditujukan kepada pencapaian material yang tidak terbatas serta konsumsi yang terus bertumbuh, 2. keyakinan bahwa ilmu penger\tahuan dan teknologi akan mampu memecahkan semua persoalan, 3. mencapai sasaran efisiensi, pertumbuhan dan produktivitas dalam segala hal, serta hidup yang diwarnai persaingan dan individualisme
0 komentar:
Posting Komentar